Pages

Friday, May 24, 2019

KITAB KIFAYATU AL-AKHYAR FI HALLI GHAYATI AL-IKHTISHAR



Nama : Rizky Rasyid

Kitab Kifayatu al-Akhyar fi Halli Ghayati al-Ikhtishar Karya Syaikh Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad al-Hishni al-Husaini.



Biografi
   Syaikh Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad al-Hishni al-Husaini, atau biasa disebut Taqiyuddin Abu Bakar al-Hishni, terkenal di kalangan pesantren tradisional. Kitabnya berjudul Kifayatu al-Akhyar fi Halli Ghayati al-Ikhtishar menjadi kitab yang wajib dipelajari di pesantren tradisional sebagai rujukan fikih Imam Syafi’i. Beliau bukan hanya ahli fikih, namun juga tersohor ahli ilmu tasawwuf. Nasabnya bersambung kepada Rasulullah saw.
Sebutan al-Hishni adalah nisbat kepada daerah asalnya “Hishni”, sebuah wilayah di desa Hauran, Damaskus. Taqiyuddin merupakan gelar keilmuan Syaikh al-Hishni karena kepakarannya dalam fikih madzhab Syafi’i.
Nama lengkapnya adalah Imam Abu Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu’minn bin Hariz bin Mualla bin Musa bin Hariz bin Sa`id bin Dawud bin Qasim bin Ali bin Alawi bin Naasyib bin Jawhar bin Ali bin Abi al-Qasim bin Saalim bin Abdullah bin Umar bin Musa bin Yahya bin Ali al-Ashghar bin Muhammad at-Taqiy bin Hasan al-Askari bin Ali al-Askari bin Muhammad al-Jawad bin Ali ar-Ridha bin Musa al-Kadzim bin Ja’far ash-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal Abidin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Tholib at-Taqiy al-Husaini al-Hishni.
Ia dilahirkan pada tahun 752 H di Hauran. Sejak kecil ia pindah dari Hauran ke Damaskus untuk tujuan menuntut ilmu. Karena, kota Damaskus sangat baik untuk menimba ilmu-ilmu agama. Terdapat guru-guru besar dari berbagai bidang yang menetap di Damaskus dan tinggal di al-Badraiyah. Di Damaskus, Syaikh al-Hishni belajar kepada Syaikh Ibnu al-Syuraisyi, Syaikh Syihabuddin al-Zuhri, Syaikh Najmuddin bin al-Jabi, Syaikh Syamsuddin al-Sharkhady, Syaikh Syarafuddin al-Ghazzi, Syaikh Badruddin bin Maktum dan lain-lain.
Akhlak dan perilakunya yang tawadhu dan luhur menjadi tanda pengenal dia. Ia seorang sufi, berakhlak mulia, dan tidak sombong. Ia terbiasa keluar bersama muridnya, berkumpul dan bahkan bermain. Namun dengan tetap menjaga kehormatannya sebagai guru.
Ketika dia masih hidup, wilayah Damaskus pernah mendapat cobaan berat. Diserang oleh tentara Tamarlenk, keturunan Jengis Khan. Tentara ini sangat tamak, sebagaimana Jengis Khan, menumpahkan darah siapa saja yang menghalangi dan berambisi menegakkan kerajaan dunia di bawah pimpinannya. Namun, ia gagal. Mujahidin menghalau dia.
Kondisi ini tidak menghalangi Syaikh Abu Bakar al-Hishni untuk belajar dan mengajar. Setelah fitnah bangsa Tar Tar berhasil dipadamkan, Syaikh al-Hishni menjadi pusat perhatian penuntut ilmu. Namanya masyhur di negeri Syam. Di saat ini, Syaikh al-Hishni membatasi berbicara kepada orang. Kecuali terbatas pada tujuan ilmu. Namun, ia terbuka untuk menasihati kepada para Qadhi – Hakim – dan para pejabat kenegaraan. Ia dikenal Zuhud, menjauhi duniawi.
Sepanjang hidupnya, Syekh Taqiyuddin al-Hishni banyak menulis kitab besar dan bernilai tinggi. Diantaranya; Daf’u Syubahi Man Syabbaha Wa Tamarrada Wa Nasaba Dzalika Ila asy-Sayyid al-Jalil al-Imam Ahmad, Syarah Asmaullah al-Husna, At-Tafsir, Syarah Shohih Muslim 3 jilid, Syarah al-Arbain an-Nawawi, Ta’liq Ahadits al-Ihya, Syarah Tanbih 5 jilid, Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah Al-Ikhtishar, Syarah an-Nihayah, Talkhish al-Muhimmaat, Syarah al-Hidayah, Adab al-Akl wa asy-Syarab, Kitab al-Qawaa`id, Tanbih as-Saalik, Qami`un Nufuus, Siyarus Saalik, Siyarush Sholihaat, Al-Asbaabul Muhlikaat, Ahwal al-Qubur, al-Mawlid.
Dalam bidang akidah, ia menganut madzhab Imam Asy’ari. Dan kerap juga terlibat perdebatan dengan ulama’ pengkut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Ia memiliki kelebihan dan keutamaan yang jarang dimiliki orang lain. Disebutkan oleh Syekh Yusuf bin Ismail an-Nabhani dalam kitabnya Jaami` Karaamaatil Awliya` juz 1 halaman 621- 622, Syekh Taqiyuddin merupakan seorang ulama yang memiliki kemuliaan tinggi. Ia menyebutkan, sewaktu para mujahidin berperang di Cyprus, maka banyak diantara mereka yang melihatnya ikut membantu perjuangan umat Islam di Cyrus, sehingga akhirnya mereka memperoleh kemenangan.
Ketika mereka menceritakan hal itu kepada murid-muridnya di Damaskus, para muridnya menyatakan, bahwa Syekh Taqiyuddin tidak pergi kemana-mana dan senantiasa mengajarkan ilmu di Damaskus.
Di akhir usianya, ia selalu berdiam di Masjid al-Mazar selama beberapa tahun. Untuk beribadah, I’tiqaf dan mengkaji agama. Usia yang telah uzhur membuat penglihatan dan pendengarannya menurun. Namun, tidak mematahkan semangat untuk mengajar. Bahkan di saat fisiknya lemah. Ia tinggal di sebuah pemondokan. Hingga banyak orang datang untuk membantunya.
Pada tanggal 14 bulan Jumadil akhir tahun 829 H ia meninggal dunia. Di makamkan di dekat masjid Damaskus bersanding dengan makam ibunya. Dikisahkan, bahwa ketika beliau wafat, orang-orang ‘alim dan guru besar mengiringi jenazahnya, dihadiri ribuan umat Islam, hingga kota Damaskus penuh sesat oleh pentakziah. (A. Kholili Hasib).
Isi dan Sistematika Kitab
Al Mughni Syarah Mukhtashar Al Khiraqi begitulah kitab ini diberi nama, atau yang biasa disebut dengan Al Mughni. Kitab ini bisa dibilang adalah masterpiece-nya Ibnu Qudamah dalam disiplin ilmu fiqih secara umum dan fiqih mazhab Hanbali secara khusus. Nama lengkap beliau adalah Muwaffaquddin Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al Jamma’ili Al Maqdisi Ad Dimasyqi Ash Shalihi Al Hanbali (541 - 620 H). Kitab ini tidak hanya menguraikan, mensyarah atau menjelaskan ungkapan-ungkapan yang terkandung dalam kitab Mukhtashar Al Khiraqi saja, tetapi penulisnya juga mengemukakan perbedaan pendapat dan riwayat yang terjadi di kalangan para ulama mazhabnya yaitu mazhab Hanbali dalam berbagai masalah dengan disertai dalil-dalinya.
Kitab Al-Mughni merupakan kitab yang disusun sebagai huraian (syarah) kepada kitab Mukhtashar al-kharaqi (الخرقي مختصر), sebuah kitab fiqh dalam mazhab Hanbali karya Abu al-Qasim ‘Umar bin al-Husain bin ‘Abdullah al-Kharaqi. Sebagaimana kitab-kitab fiqih pada umumnya, kitab ini memulai pembahasan dengan kitab Thaharah, Shalat,  Jenazah,  Zakat, Puasa,  I’tikaf,  Haji, Nikah dan masih banyak lagi yang lainnya dengan disertai bab-bab dan pasal-pasal serta permasalahan ditiap kitabnya, lalu ditutup dengan kitab ‘Itqu Ummahatil Aulad.

Metode, Teknik, Karakteristik
Kitab yang berjudul Kifayatul Akhyar fi Hilli Ghayatil Ikhtishar merupakan sebuah kitab fikih mazhab Syafi’i, yang disusun oleh Syaikh Taqiyyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini al-Hushni ad-Dimasyqi asy-Syafi’i. Beliau adalah seorang ulama mazhab Syafi’i yang lahir pada abad ke-9 Hijriyyah.
Merupakan salah satu kitab fikih yang sangat populer di negeri kita. Banyak dijadikan sebagai kurikulum pendidikan di berbagai pesantren, serta karena banyaknya keunggulan kitab ini para ulama dan intelektual muslim berusaha menterjemahkannya ke berbagai bahasa, di antaranya adalah bahasa Indonesia, Malaysia, Thailand, Inggris, Perancis dan lainnya.
Dengan kemampuannya, penulis membuat kitab ini sebagai ringkasan dari kitab Raudhatu at-Thalibin yang ditulis oleh Imam an-Nawawi sekaligus sebagai syarah dari Matan Abu Syuja’ yaitu al-Ghayah wa at-Taqrib. Ishtilah dan isinya diambil dari kitab Raudhatu at-Thalibin namun sistematika penulisannya sesuai dengan urutan Matan Abu Suja’.
Metode penulisan kitab ini pun dibuat sangat sederhana, dimana matan al-Ghayah wa at-Taqrib ditulis di bagian atas, lalu di bawahnya ada penjelasan yang merupakan kitab Kifayatul Akhyar ini. Selain yang telah disebutkan di atas, di antara keistimewaan lainnya adalah:
Pertama, penjabaran syarah dalam kitab ini disampaikan secara ringkas namun mencukupi kebutuhan thalibul ilmi untuk mempelajari fikih dari dasar. Seperti kitab-kitab fikih lainnya, diawali dengan bab thaharah, shalat, puasa, zakat, haji, wasiyat, perwarisan, perkawinan, dan diakhiri dengan bab pembebasan.
Kedua, dalam penjelasannya disertakan dalil-dalil yang terkait dengan permasalahan yang dibahas. Terlebih dahulu penulis memaparkan dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, kemudian mulai menjelaskan dengan syarahnya.
Apabila dalam matan al-Ghayah wa at-Taqrib kita hanya menemukan hasil akhir dari ilmu fikih, tanpa disebutkan dalil-dalilnya, maka dalam kitab ini kita akan mendapati dalil-dalil yang melatarbelakangi hasil akhir tersebut. Bahkan terkadang penulis menyebutkan lebih dari satu dalil dalam sebuah permasalahan, juga menyebutkan beberapa riwayat hadits yang lain, serta menjelaskan sebagian kalimat yang sulit untuk difahami.
Ketiga, menyebutkan perbedaan pendapat antara Imam ar-Rafi’i dan Imam an-Nawawi. Sebagaimana telah diketahui, dalam mazhab Syafi’i mulai banyaknya penulisan kitab mazhab bermula dari dua imam besar, yaitu Imam ar-Rafi’i dan Imam an-Nawawi. Dalam persoalan yang disepakati oleh dua imam ini, tentunya setelah dikaji dan ditarjih maka akan dijadikan sebagai pendapat mazhab Syafi’i. Adapun jika mereka berselisih pendapat maka pendapat Imam an-Nawawi lah yang diambil, atau jika terdapat pendapat ulama lain dalam mazhabnya yang rajih maka pendapat itulah yang diambil.
Adapun ishtilah-ishtilah yang digunakan dalam kitab ini tidak seperti kitab fikih pada umumnya. Ishtilah yang digunakan adalah ishtilah Imam an-Nawawi dalam kitab Raudah dan ishtilah yang menjadi kesepakatan dalam mazhab Syafi’i secara umum. Ketika beliau menyebut “Imam” maka yang dimaksud adalah Imam al-Haramain al-Juwaini, ishtilah “al-Qadhi” maksudnya adalah Imam al-Qadhi Husain, ishtilah “asy-Syaikhani” maksudnya adalah Imam ar-Rafi’i dan Imam an-Nawawi, dan masih banyak ishtilah-ishtilah lainnya.
Selain kitab ini sebagai ringkasan dari kitab Raudhatu ath-Thalibin, sudah barang tentu banyak merujuk pendapat dari kitab tersebut, namun penulis juga merujuk pada kitab-kitab yang lain, seperti al-Umm dan ar-Risalah karya Imam asy-Syafi’i, al-Mukhtashar karya Imam al-Buwaithi dan Imam al-Muzani, al-Furuq karya Imam al-Juwaini, al-Hawi al-Kabir karya Imam al-Mawardi, dan kitab-kitab lainnya
Sesuai dengan namanya, Kifayatul Ahkyar, nampaknya Imam al-Hushni menginginkan kitab ini menjadi pilihan utama dan terbaik dalam pembahasan masalah-masalah fikih, terutama dalam mazhab Syafi’i. Beliau mengharapkan kepada umat Islam yang mempelajari kitab ini untuk menekuninya secara giat. Menurutnya, seorang yang sungguh-sungguh mempelajari kitab ini serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari maka ia telah membuat sebuah jalan menuju surga.
Demikian itu beliau ungkapkan dalam mukaddimah kitabnya, “Karena sebab kemuliaan dan keistimewaan mempelajari fikih maka bersungguh-sungguh dalam mempelajarinya merupakan sebuah keutamaan. Bahkan akan lebih baik jika seseorang menekuninya sepanjang hayat, sebab menekuni fikih sama halnya dengan membuat sebuah jalan menuju surga.”


Kedudukan Kitab
            Kitab yang berjudul Kifayatul Akhyar fi Hilli Ghayatil Ikhtishar merupakan salah satu kitab fikih yang sangat populer di negeri kita. Banyak dijadikan sebagai kurikulum pendidikan di berbagai pesantren, serta karena banyaknya keunggulan kitab ini para ulama dan intelektual muslim berusaha menterjemahkannya ke berbagai bahasa, di antaranya adalah bahasa Indonesia, Malaysia, Thailand, Inggris, Perancis dan lainnya.
Contoh
كِتَابُ الطَّهَارَةِ
[KITAB BERSUCI]

Lafazh “KITĀB” diambil dari mashdar KATBI, artinya mengumpulkan. Orang ‘Arab mengatakan: “takattaba banū fulānin” jika orang-orang Banu Fulan sedang berkumpul-kumpul. Sama dengan kata-kata katibat-ur-ramali, itu artinya kumpulan pasir atau tumpukan pasir.
Lafaz THAHĀRAH, arti menurut lughat yaitu bersih. Jika kamu mengatakan thahharat-uts-tsauba, itu artinya: Aku membersihkan pakaian. Adapun menurut syara‘. Thahārah ialah usaha menghilangkan hadats atau najis atau apa saja yang sama dengan hadats atau najis, atau suatu pekerjaan yang sama dengan usaha-usaha menghilangkan hadats dan najis, seperti basuhan-basuhan yang ketiga atau kedua, mandi-mandi yang disunnatkan, memperbarui wudhu’, tayammum dan lain sebagainya. Termasuk segala pekerjaan yang tidak boleh menghilangkan hadats atau najis, tetapi mempunyai arti yang sama dengan usaha menghilangkan hadats dan najis.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(الْمَاءُ الَّتِيْ يَجُوْزُ بِهَا التَّطْهِيْرُ سَبْعُ مِيَاهٍ: مَاءُ السَّمَاءِ، وَ مَاءُ الْبَحْرِ، وَ مَاءُ النَّهْرِ، وَ مَاءُ الْبِئْرِ، وَ مَاءُ الْعَيْنِ، وَ مَاءُ الثَّلْجِ، وَ مَاءُ الْبَرَدِ)
[Air yang boleh digunakan untuk bersuci ada tujuh macam: yaitu:
1.                       Air hujan.
2.                       Air laut,
3.                       Air sungai.
4.                       Air sumur.
5.                       Air sumber (mata air).
6.                       Air es (salju).
7.                       Air barad (embun)].
Dalil yang membolehkannya bersuci dengan menggunakan air hujan ialah firman Allah s.w.t.:
…وَ يُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ…..
“…..dan Allah telah menurunkan kepadamu air (hujan) dari langit untuk menyucikan dirimu (dengan air itu).” (al-Anfāl [8]: 11).
Dan di sana masih ada banyak lagi ayat-ayat yang lain.
Dalil yang membolehkannya bersuci dengan menggunakan air laut, yaitu sabda Nabi Muḥammad s.a.w. ketika beliau dimintai keterangan mengenai air laut. Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ.
Laut itu airnya mensucikan dan bangkainya halal dimakan.”
Hadits tersebut dianggap shaḥīḥ oleh Ibnu Ḥibbān, Ibn-us-Sakan, at-Tirmidzī dan Imām Bukhārī.
Dalil yang membolehkannya bersuci dengan menggunakan air sumur ialah Haditsnya Sahl r.a.:
قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ! إِنَّكَ تَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ وَ فِيْهَا مَا يُنْجِي النَّاسُ وَ الْحَائِضُ وَ الْجُنُبُ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): الْمَاءُ طَهُوْرٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ.
“Para Sahabat mengajukan pertanyaan kepada Rasūlullāh s.a.w. : Hai Rasūlullāh! Sungguh engkau telah berwudhu’ dengan air sumur Budhā‘ah, padahal di sumur itu airnya telah dipakai mencuci oleh orang banyak, ada perempuan-perempuan yang sedang haidh dan ada pula orang-orang yang junub? Rasūlullāh s.a.w. menjawab: Air itu suci dan mensucikan, tidak satu pun benda yang dapat menajiskan air itu.”
Hadits ini dianggap ḥasan oleh at-Tirmidzī dan dianggap shaḥīḥ oleh Imām Aḥmad dan lainnya.
Adapun air sungai dan air sumber, maka halnya sama dengan air sumur.
Dalil diperolehkannya bersuci menggunakan air es dan air barad ialah Haditsnya Abū Hurairah r.a. (nama aslinya ‘Abd-ur-Raḥmān bin Shahrin, menurut qaul yang ashaḥḥ). Abū Hurairah berkata: Adalah Rasūlullāh s.a.w. apabila telah bertakbir untuk shalatnya, sebelum membaca al-Fātiḥah beliau berhenti sejenak. Kemudian aku bertanya: Ya Rasūlullāh! Apa yang engkau baca? Rasūlullāh s.a.w. menjawab: Aku membaca:
اللهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِيْ وَ بَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَ الْمَغْرِبِ. اللهُمَّ نَقِّنِيْ مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ. اللهُمَّ اغْسِلْنِيْ مِنْ خَطَايَايَ بِمَاءِ الثَّلْجِ وَ الْبَرَدِ.
Ya Allah! Jauhilah diriku dari kesalahan-kesalahan sebagaimana engkau telah menjauhkan barat dari timur. Ya Allah! Bersihkanlah diriku dari kesalahan-kesalahan seperti dibersihkannya pakaian dari kotoran. Ya Allah! Cucilah diriku dari semua kesalahan dengan es dan air barad.
(Riwayat Bukhārī dan Muslim).
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(ثُمَّ الْمِيَاهُ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقسَامٍ: طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ غَيْرُ مَكْرُوْهٍ وَ هُوَ الْمَاءُ الْمُطْلَقُ).
[Kemudian air itu ada empat macam:
1. AIR THĀHIR MUTHAHHIR GHAIRU MAKRŪH, yaitu air yang suci serta mensucikan kepada yang lain dan tidak makruh apabila digunakan, yaitu yang dinamakan air mutlak!].
Air yang boleh menghilangkan hadats dan menghilangkan najis yaitu air mutlak. Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan air mutlak. Ada yang mengatakan: Air Mutlak itu ialah air yang sepi dari qayd-qayd (ikatan-ikatan) dan sepi dari penambahan kata yang perlu (tidak pernah lepas).
Definisi ini adalah definisi yang shaḥīḥ, diterangkan di dalam kitab ar-Raudhah dan kitab al-Muḥarrar, dan telah dinash oleh Imām Syāfi‘ī. Katanya “sepi dari qayd-qayd”, mengecualikan hal yang serupa dengan yang tersebut di dalam firman Allah min mā’in dāfiq (air yang tersendat-sendat keluarnya), dan firman Allah min mā’in mahīn (air yang hina).
Kata pengarang “penambahan kata yang perlu” mengecualikan hal serupa dengan air mawar.
Kata pengarang “penambahan kata yang perlu” juga mengecualikan penambahan kata yang tidak perlu, kadang boleh lepas. Seperti perkataan “AIR SUNGAI” dan lain sebagainya. Penambahan SUNGAI ini tidak dapat melepaskan air sungai itu dari keberadaannya yang boleh menghilangkan hadats dan menghilangkan najis, karena ia masih disebut AIR MUTLAK.
Sebagian Ulama ada yang berkata: Yang disebut air mutlak ialah air yang tetap menurut semula asal kejadiannya. Ada lagi yang mengatakan: Air mutlak ialah apa saja yang boleh disebut air. Sebab dikatakannya air mutlak ialah karena setiap diucapkan, tentu menggunakan arti air yang telah disebutkan itu. Demikianlah apa yang telah diterangkan oleh Ibnu Shalāḥ dan diikuti oleh Imām Nawawī di dalam kitabnya Syaraḥ al-Muhadzdzab.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
 (وَ طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ مَكْرُوْهٌ: وَ هُوَ الْمَاءُ الْمُشَمَّسُ)
[2. Yaitu AIR THĀHIR MUTHAHHIR MAKRŪH. Maksudnya air suci yang boleh mensucikan terhadap lainnya dan makruh umpama digunakan. Yaitu air yang dijemur di tempat yang panas].
Apa yang dikatakan oleh pengarang ini adalah macam yang kedua dari bahagian air yang banyaknya ada empat macam. Yaitu air musyammas, artinya air yang dijemur di tempat yang panas. Air musyammas ini suci jika tidak bertemu dengan najis, dan boleh mensucikan, artinya boleh menghilangkan hadats dan menghilangkan najis, sebab masih tetap disebut air mutlak. Apakah makruh menggunakannya? Ada khilāf di antara para Ulama. Qaul yang ashaḥḥ (yang lebih diberatkan) bagi Imām Rāfi‘ī, hukumnya makrūh. Qaul inilah yang dipastikan oleh pengarang. Hukum makruh ini, yang dibuat ḥujjah (alasan) oleh Imām Rāfi‘ī ialah karena Rasūlullāh s.a.w. pernah melarang ‘Ā’isyah menggunakan air musyammas dan beliau bersabda: Air musyammas itu boleh mengakibatkan penyakit belang.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās r.a., bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda:
مَنِ اغْتَسَلَ بِمَاءٍ مُشَمَّسٍ فَأَصَابَهُ وَضَحٌ فَلَا يُلُوْمَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ.
Barang siapa mandi dengan air musyammas lalu terkena penyakit belang, janganlah menyalahkan kecuali kepada dirinya sendiri.
Sahabat ‘Umar r.a. tidak suka menggunakan air musyammas dan berkata: Air musyammas itu menimbulkan penyakit belang.
Kemudian menurut qaul Imām Rāfi‘ī ini, kemakruhan menggunakan air musyammas tersebut mempunyai dua syarat:
Syarat yang pertama: Terjemurnya harus di dalam bejana yang tahan pukul, seperti wadah tembaga, besi dan timah. Sebab panas matahari jika sudah memancar pada wadah logam tersebut, boleh mengluarkan buih yang beserta karat-karat naik ke permukaan air. Dan dari buih yang beserta karat-karat itulah timbulnya penyakit belang. Peristiwa seperti itu tidak akan terjadi pada yang terbuat dari emas atau perak, karena (logam) kedua tersebut sangat bening (tidak menerima karat). Tetapi menggunakan yang terbuat dari emas dan perak hukumnya haram menurut apa yang akan diterangkan nanti.
Jadi, andaikata orang menuangkan air musyammas dari emas atau perak ke dalam wadah yang diperbolehkan memakainya, air itu tidak makruh, sebab tidak ada buih logam yang dikhawatirkan. Juga tidak makruh menggunakan air yang dijemur di dalam wadah tembikar (tanah) dan lain-lain, sebab tidak ada alasan kemakruhannya.
Syarat yang kedua: Menjemurnya harus di daerah yang sangat panas, tidak di daerah yang dingin atau daerah sederhana panasnya. Sebab pengaruh sinar matahari di daerah dingin dan sederhana ini adalah lemah. Tidak ada perbedaan antara disengajakan atau tidaknya jemurnya itu, sebab apa yang dikhawatirkan tetap wujud. Tidak makruh menggunakan air musyammas di dalam kolam kecil atau kolam besar, tanpa ada khilāf.
Apakah makruhnya bersifat syar‘ī (hukum agama) ataukah irsyādī (menunjukkan yang baik dan yang benar)? Ada dua wajah; dan wajah yang ashaḥḥ menurut Syaraḥ al-Muḥadzdzab, makruhnya makruh Syar‘ī. Jadi kalau menurut qaul yang ini, orang yang meninggalkan, akan mendapat pahala sebab meninggalkannya itu. Wajah yang kedua, makruhnya bersifat Irsyādī. Jadi, kalau menurut qaul yang kedua ini, orang yang meninggalkan tidak diberi pahala, sebab kemakruhannya ditinjau dari segi kesehatan.
Ada yang mengatakan bahwa air musyammas itu tidak makruh secara mutlak. Imām Rāfi‘ī memandang qaul ini sebagai qaul-nya imam-imam yang tiga, yaitu Abū Ḥanīfah, Mālik dan Imām Aḥmad bin Ḥanbal. Imām Nawawī berkata di dalam tambahannya pada kitab Ar-Raudhah, bahwa qaul ini adalah qaul yang rājiḥ dipandang dari segi dalil dan kebanyakan para Ulama bermazhab pada qaul ini. Hukum makruh tidak mempunyai dalil yang boleh dianggap benar. Dan kalau kita menghukumkan makruh, makruhnya adalah makruh tanzīh, tidak boleh menolak keabsahan bersuci dan penggunaannya khusus pada badan. Kemakruhan ini boleh hilang dengan jalan didinginkan, menurut qaul yang ashaḥ. Qaul yang ketiga, boleh dimintakan keterangan dokter. Wallāhu a‘lam.
Apa yang dianggap shaḥīḥ oleh Imām Nawawī, yaitu hilangnya kemakruhkan sebab didinginkan, justru di dalam Syaraḥ ash-Shaghīr, Imām Rāfi‘ī menganggap shaḥīḥ tetapnya hukum makruh. Dan di dalam Syaraḥ al-Muḥadzdzab, Imām Nawawī berkata: Yang betul tidak makruh. Haditsnya ‘Ā’isyah di atas adalah dha‘īf (lemah) dari kesepakatan para Ulama Ahli Hadits, malah sebagian Muḥadditsīn ada yang menganggap Hadits itu Maudhū‘ (palsu). Demikian juga Hadits yang diriwayatkan oleh Imām Syāfi‘ī dari ‘Umar bin al-Khaththāb bahwa air musyammas boleh menimbulkan penyakit belang, adalah dha‘īf juga. Karena kesepakatan ‘Ulamā’ Muḥadditsīn dalam men-dha‘īf-kan Ibrāhīm bin Muḥammad (salah seorang rawi). Dan Hadits-nya Ibnu ‘Abbās tidak terkenal. Wallāhu a‘lam.
Apa yang telah disebutkan oleh Imām Nawawī mengenai atsar-nya ‘Umar, tidak dapat diterima. Dakwaan Imām Nawawī bahwa ‘Ulamā’ Maḥadditsīn telah bersepakat men-dha‘īf-kan Ibrāhīm – salah seorang rawi dari atsar tersebut- juga tidak dapat dibenarkan, sebab Imām Syāfi‘ī menganggap Ibrāhīm dapat diandalkan dan dipercaya. Anggapan Syāfi‘ī yang demikian itu cukup untuk mengesahkan sesuatu Hadits. Dan lagi tidak hanya satu Ḥāfizh yang menganggap tsiqah (dipercayai) kepada Ibrāhīm. Atsar tersebut juga diriwayatkan oleh Imām ad-Dāraquthnī dengan isnād lain yang shaḥīḥ.
Imām Nawawī berkata di dalam tambahannya pada kitab ar-Raudhah: Makruh bersuci dengan air yang sangat panas dan air yang sangat dingin. Wallāhu a‘lam. Alasannya, karena air tersebut tidak dapat merata ke seluruh anggota badan. Imām Nawawī (sehubungan dengan sumurnya kaum Tsamūd) berkata: Sumur itu dilarang digunakan oleh Rasūlullāh s.a.w. Jadi paling ringan, makruh menggunakan air sumur tersebut.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ طَاهِرٌ غَيْرُ مُطَهِّرٍ: وَ هُوَ الْمَاءُ الْمُسْتَعْمَلُ)
[3. Yaitu AIR THĀHIR GHAIRU MUTHAHHIR. Maksud-nya suci yang tidak boleh mensucikan kepada yang lain, yaitu air musta‘mal].
Ini adalah macam yang ketiga di antara bermacam-macamnya air. Yaitu air yang sudah digunakan untuk menghilankan hadats atau menghilangkan najis, kalau memang tidak berubah dan tidak bertambah timbangannya setelah digunakan. Jadi airnya suci, karena sabda Nabi Muḥammad s.a.w.:
خَلَقَ اللهُ الْمَاءَ طُهُوْرًا لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إِلَّا غَيَّرَ طَعْمَهُ أَوْ رِيْحَهُ.
Allah menciptakan air itu suci mensucikan. Tidak ada satu perkara yang boleh mennajiskan air itu, kecuali perkara itu boleh merubah rasanya atau baunya.”
Di dalam riwayatnya Ibnu Mājah ada tambahan: atau warnanya. Hadits riwayat Ibnu Mājah ini dha‘īf. Yang pasti ialah rasa dan baunya saja.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ الْمُتَغَيِّرُ بِمَا خَالَطَهُ مِنَ الطَّاهِرَاتِ)
[Demikian juga air yang berubah sebab adanya sesuatu yang mencampuri berupa benda yang suci].
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ مَاءٌ نَجِسٌ، وَ هُوَ الَّذِيْ حَلَّتْ فِيْهِ نَجَاسَةٌ، وَ هُوَ دُوْنَ الْقُلَّتَيْنِ، أَوْ كَانَ قُلَّتَيْنِ فَتَغَيَّرَ).
[4. AIR NAJIS. Yaitu air yang kemasukan benda najis dan air itu kurang dari dua qullah, atau ada qullah tetapi berubah].
Apa yang diterangkan oleh pengarang ini adalah macam air yang keempat. Sebagaimana pula pengarang menerangkan bahwa air juga dibagi menjadi dua. Air yang sedikit dan air yang banyak.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ لَا يَخْتَصُّ بِشَعَرِ الْآدَمِيِّ فِي الْأَصَحِّ).
[Rambut ini, tidak khusus rambutnya anak Ādam (manusia), menurut qaul yang ashaḥḥ].
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ الْقُلَّتَانِ خَمْسُمِائَةِ رَطْلٍ بِالْعِرَاقِيِّ تَقْرِيْبًا فِي الْأَصَحِّ).
[Air dua qullah beratnya sama dengan lima ratus paun Baghdād, menurut qaul yang

Penutup
Kitab Al-Mughni merupakan kitab yang disusun sebagai huraian (syarah) kepada kitab Mukhtashar al-kharaqi (الخرقي مختصر), sebuah kitab fiqh dalam mazhab Hanbali karya Abu al-Qasim ‘Umar bin al-Husain bin ‘Abdullah al-Kharaqi. Sebagaimana kitab-kitab fiqih pada umumnya, kitab ini memulai pembahasan dengan kitab Thaharah, Shalat,  Jenazah,  Zakat, Puasa,  I’tikaf,  Haji, Nikah dan masih banyak lagi yang lainnya dengan disertai bab-bab dan pasal-pasal serta permasalahan ditiap kitabnya, lalu ditutup dengan kitab ‘Itqu Ummahatil Aulad.
   Sesuai dengan namanya, Kifayatul Ahkyar, nampaknya Imam al-Hushni menginginkan kitab ini menjadi pilihan utama dan terbaik dalam pembahasan masalah-masalah fikih, terutama dalam mazhab Syafi’i. Beliau mengharapkan kepada umat Islam yang mempelajari kitab ini untuk menekuninya secara giat. Menurutnya, seorang yang sungguh-sungguh mempelajari kitab ini serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari maka ia telah membuat sebuah jalan menuju surga.

0 comments:

Post a Comment