Nama
: Rizky Rasyid
Kitab Kifayatu al-Akhyar fi Halli Ghayati al-Ikhtishar Karya Syaikh
Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad al-Hishni al-Husaini.
Biografi
Syaikh Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad al-Hishni al-Husaini, atau
biasa disebut Taqiyuddin Abu Bakar al-Hishni, terkenal di kalangan pesantren
tradisional. Kitabnya berjudul Kifayatu al-Akhyar fi Halli Ghayati al-Ikhtishar
menjadi kitab yang wajib dipelajari di pesantren tradisional sebagai rujukan
fikih Imam Syafi’i. Beliau bukan hanya ahli fikih, namun juga tersohor ahli
ilmu tasawwuf. Nasabnya bersambung kepada Rasulullah saw.
Sebutan al-Hishni adalah nisbat kepada daerah asalnya “Hishni”,
sebuah wilayah di desa Hauran, Damaskus. Taqiyuddin merupakan gelar keilmuan
Syaikh al-Hishni karena kepakarannya dalam fikih madzhab Syafi’i.
Nama lengkapnya adalah Imam Abu Bakar bin Muhammad bin Abdul
Mu’minn bin Hariz bin Mualla bin Musa bin Hariz bin Sa`id bin Dawud bin Qasim
bin Ali bin Alawi bin Naasyib bin Jawhar bin Ali bin Abi al-Qasim bin Saalim
bin Abdullah bin Umar bin Musa bin Yahya bin Ali al-Ashghar bin Muhammad
at-Taqiy bin Hasan al-Askari bin Ali al-Askari bin Muhammad al-Jawad bin Ali
ar-Ridha bin Musa al-Kadzim bin Ja’far ash-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin
Zainal Abidin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Tholib at-Taqiy al-Husaini
al-Hishni.
Ia dilahirkan pada tahun 752 H di Hauran. Sejak kecil ia pindah
dari Hauran ke Damaskus untuk tujuan menuntut ilmu. Karena, kota Damaskus
sangat baik untuk menimba ilmu-ilmu agama. Terdapat guru-guru besar dari
berbagai bidang yang menetap di Damaskus dan tinggal di al-Badraiyah. Di
Damaskus, Syaikh al-Hishni belajar kepada Syaikh Ibnu al-Syuraisyi, Syaikh
Syihabuddin al-Zuhri, Syaikh Najmuddin bin al-Jabi, Syaikh Syamsuddin
al-Sharkhady, Syaikh Syarafuddin al-Ghazzi, Syaikh Badruddin bin Maktum dan
lain-lain.
Akhlak dan perilakunya yang tawadhu dan luhur menjadi tanda
pengenal dia. Ia seorang sufi, berakhlak mulia, dan tidak sombong. Ia terbiasa
keluar bersama muridnya, berkumpul dan bahkan bermain. Namun dengan tetap
menjaga kehormatannya sebagai guru.
Ketika dia masih hidup, wilayah Damaskus pernah mendapat cobaan
berat. Diserang oleh tentara Tamarlenk, keturunan Jengis Khan. Tentara ini
sangat tamak, sebagaimana Jengis Khan, menumpahkan darah siapa saja yang
menghalangi dan berambisi menegakkan kerajaan dunia di bawah pimpinannya.
Namun, ia gagal. Mujahidin menghalau dia.
Kondisi ini tidak menghalangi Syaikh Abu Bakar al-Hishni untuk
belajar dan mengajar. Setelah fitnah bangsa Tar Tar berhasil dipadamkan, Syaikh
al-Hishni menjadi pusat perhatian penuntut ilmu. Namanya masyhur di negeri
Syam. Di saat ini, Syaikh al-Hishni membatasi berbicara kepada orang. Kecuali
terbatas pada tujuan ilmu. Namun, ia terbuka untuk menasihati kepada para Qadhi
– Hakim – dan para pejabat kenegaraan. Ia dikenal Zuhud, menjauhi duniawi.
Sepanjang hidupnya, Syekh Taqiyuddin al-Hishni banyak menulis kitab
besar dan bernilai tinggi. Diantaranya; Daf’u Syubahi Man Syabbaha Wa Tamarrada
Wa Nasaba Dzalika Ila asy-Sayyid al-Jalil al-Imam Ahmad, Syarah Asmaullah
al-Husna, At-Tafsir, Syarah Shohih Muslim 3 jilid, Syarah al-Arbain an-Nawawi,
Ta’liq Ahadits al-Ihya, Syarah Tanbih 5 jilid, Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah
Al-Ikhtishar, Syarah an-Nihayah, Talkhish al-Muhimmaat, Syarah al-Hidayah, Adab
al-Akl wa asy-Syarab, Kitab al-Qawaa`id, Tanbih as-Saalik, Qami`un Nufuus,
Siyarus Saalik, Siyarush Sholihaat, Al-Asbaabul Muhlikaat, Ahwal al-Qubur,
al-Mawlid.
Dalam bidang akidah, ia menganut madzhab Imam Asy’ari. Dan kerap
juga terlibat perdebatan dengan ulama’ pengkut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Ia memiliki kelebihan dan keutamaan yang jarang dimiliki orang
lain. Disebutkan oleh Syekh Yusuf bin Ismail an-Nabhani dalam kitabnya Jaami`
Karaamaatil Awliya` juz 1 halaman 621- 622, Syekh Taqiyuddin merupakan seorang
ulama yang memiliki kemuliaan tinggi. Ia menyebutkan, sewaktu para mujahidin
berperang di Cyprus, maka banyak diantara mereka yang melihatnya ikut membantu
perjuangan umat Islam di Cyrus, sehingga akhirnya mereka memperoleh kemenangan.
Ketika mereka menceritakan hal itu kepada murid-muridnya di
Damaskus, para muridnya menyatakan, bahwa Syekh Taqiyuddin tidak pergi
kemana-mana dan senantiasa mengajarkan ilmu di Damaskus.
Di akhir usianya, ia selalu berdiam di Masjid al-Mazar selama
beberapa tahun. Untuk beribadah, I’tiqaf dan mengkaji agama. Usia yang telah
uzhur membuat penglihatan dan pendengarannya menurun. Namun, tidak mematahkan
semangat untuk mengajar. Bahkan di saat fisiknya lemah. Ia tinggal di sebuah
pemondokan. Hingga banyak orang datang untuk membantunya.
Pada tanggal 14 bulan Jumadil akhir tahun 829 H ia meninggal dunia.
Di makamkan di dekat masjid Damaskus bersanding dengan makam ibunya.
Dikisahkan, bahwa ketika beliau wafat, orang-orang ‘alim dan guru besar
mengiringi jenazahnya, dihadiri ribuan umat Islam, hingga kota Damaskus penuh
sesat oleh pentakziah. (A. Kholili Hasib).
Isi dan Sistematika Kitab
Al Mughni Syarah Mukhtashar Al Khiraqi
begitulah kitab ini diberi nama, atau yang biasa disebut dengan Al Mughni.
Kitab ini bisa dibilang adalah masterpiece-nya Ibnu Qudamah dalam disiplin ilmu
fiqih secara umum dan fiqih mazhab Hanbali secara khusus. Nama lengkap beliau
adalah Muwaffaquddin Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah
Al Jamma’ili Al Maqdisi Ad Dimasyqi Ash Shalihi Al Hanbali (541 - 620 H). Kitab
ini tidak hanya menguraikan, mensyarah atau menjelaskan ungkapan-ungkapan yang
terkandung dalam kitab Mukhtashar Al Khiraqi saja, tetapi penulisnya juga
mengemukakan perbedaan pendapat dan riwayat yang terjadi di kalangan para ulama
mazhabnya yaitu mazhab Hanbali dalam berbagai masalah dengan disertai
dalil-dalinya.
Kitab Al-Mughni
merupakan kitab yang disusun sebagai huraian (syarah) kepada kitab Mukhtashar
al-kharaqi (الخرقي مختصر), sebuah kitab fiqh
dalam mazhab Hanbali karya Abu al-Qasim ‘Umar bin al-Husain bin ‘Abdullah
al-Kharaqi. Sebagaimana kitab-kitab fiqih pada umumnya, kitab ini memulai
pembahasan dengan kitab Thaharah, Shalat,
Jenazah, Zakat, Puasa, I’tikaf,
Haji, Nikah dan masih banyak lagi yang lainnya dengan disertai bab-bab
dan pasal-pasal serta permasalahan ditiap kitabnya, lalu ditutup dengan kitab
‘Itqu Ummahatil Aulad.
Metode, Teknik, Karakteristik
Kitab yang berjudul Kifayatul Akhyar fi
Hilli Ghayatil Ikhtishar merupakan sebuah kitab fikih mazhab Syafi’i, yang
disusun oleh Syaikh Taqiyyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini al-Hushni
ad-Dimasyqi asy-Syafi’i. Beliau adalah seorang ulama mazhab Syafi’i yang lahir
pada abad ke-9 Hijriyyah.
Merupakan salah satu kitab fikih yang
sangat populer di negeri kita. Banyak dijadikan sebagai kurikulum pendidikan di
berbagai pesantren, serta karena banyaknya keunggulan kitab ini para ulama dan
intelektual muslim berusaha menterjemahkannya ke berbagai bahasa, di antaranya
adalah bahasa Indonesia, Malaysia, Thailand, Inggris, Perancis dan lainnya.
Dengan kemampuannya, penulis membuat
kitab ini sebagai ringkasan dari kitab Raudhatu at-Thalibin yang ditulis oleh
Imam an-Nawawi sekaligus sebagai syarah dari Matan Abu Syuja’ yaitu al-Ghayah
wa at-Taqrib. Ishtilah dan isinya diambil dari kitab Raudhatu at-Thalibin namun
sistematika penulisannya sesuai dengan urutan Matan Abu Suja’.
Metode penulisan kitab ini pun dibuat
sangat sederhana, dimana matan al-Ghayah wa at-Taqrib ditulis di bagian atas,
lalu di bawahnya ada penjelasan yang merupakan kitab Kifayatul Akhyar ini.
Selain yang telah disebutkan di atas, di antara keistimewaan lainnya adalah:
Pertama, penjabaran syarah dalam kitab
ini disampaikan secara ringkas namun mencukupi kebutuhan thalibul ilmi untuk
mempelajari fikih dari dasar. Seperti kitab-kitab fikih lainnya, diawali dengan
bab thaharah, shalat, puasa, zakat, haji, wasiyat, perwarisan, perkawinan, dan diakhiri
dengan bab pembebasan.
Kedua, dalam penjelasannya disertakan
dalil-dalil yang terkait dengan permasalahan yang dibahas. Terlebih dahulu penulis
memaparkan dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, kemudian mulai
menjelaskan dengan syarahnya.
Apabila dalam matan al-Ghayah wa
at-Taqrib kita hanya menemukan hasil akhir dari ilmu fikih, tanpa disebutkan
dalil-dalilnya, maka dalam kitab ini kita akan mendapati dalil-dalil yang
melatarbelakangi hasil akhir tersebut. Bahkan terkadang penulis menyebutkan
lebih dari satu dalil dalam sebuah permasalahan, juga menyebutkan beberapa
riwayat hadits yang lain, serta menjelaskan sebagian kalimat yang sulit untuk
difahami.
Ketiga, menyebutkan perbedaan pendapat
antara Imam ar-Rafi’i dan Imam an-Nawawi. Sebagaimana telah diketahui, dalam
mazhab Syafi’i mulai banyaknya penulisan kitab mazhab bermula dari dua imam
besar, yaitu Imam ar-Rafi’i dan Imam an-Nawawi. Dalam persoalan yang disepakati
oleh dua imam ini, tentunya setelah dikaji dan ditarjih maka akan dijadikan
sebagai pendapat mazhab Syafi’i. Adapun jika mereka berselisih pendapat maka
pendapat Imam an-Nawawi lah yang diambil, atau jika terdapat pendapat ulama
lain dalam mazhabnya yang rajih maka pendapat itulah yang diambil.
Adapun ishtilah-ishtilah yang digunakan
dalam kitab ini tidak seperti kitab fikih pada umumnya. Ishtilah yang digunakan
adalah ishtilah Imam an-Nawawi dalam kitab Raudah dan ishtilah yang menjadi
kesepakatan dalam mazhab Syafi’i secara umum. Ketika beliau menyebut “Imam”
maka yang dimaksud adalah Imam al-Haramain al-Juwaini, ishtilah “al-Qadhi”
maksudnya adalah Imam al-Qadhi Husain, ishtilah “asy-Syaikhani” maksudnya
adalah Imam ar-Rafi’i dan Imam an-Nawawi, dan masih banyak ishtilah-ishtilah
lainnya.
Selain kitab ini sebagai ringkasan dari
kitab Raudhatu ath-Thalibin, sudah barang tentu banyak merujuk pendapat dari
kitab tersebut, namun penulis juga merujuk pada kitab-kitab yang lain, seperti
al-Umm dan ar-Risalah karya Imam asy-Syafi’i, al-Mukhtashar karya Imam
al-Buwaithi dan Imam al-Muzani, al-Furuq karya Imam al-Juwaini, al-Hawi
al-Kabir karya Imam al-Mawardi, dan kitab-kitab lainnya
Sesuai dengan namanya, Kifayatul Ahkyar, nampaknya
Imam al-Hushni menginginkan kitab ini menjadi pilihan utama dan terbaik dalam
pembahasan masalah-masalah fikih, terutama dalam mazhab Syafi’i. Beliau
mengharapkan kepada umat Islam yang mempelajari kitab ini untuk menekuninya
secara giat. Menurutnya, seorang yang sungguh-sungguh mempelajari kitab ini
serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari maka ia telah membuat sebuah
jalan menuju surga.
Demikian itu beliau ungkapkan dalam
mukaddimah kitabnya, “Karena sebab kemuliaan dan keistimewaan mempelajari fikih
maka bersungguh-sungguh dalam mempelajarinya merupakan sebuah keutamaan. Bahkan
akan lebih baik jika seseorang menekuninya sepanjang hayat, sebab menekuni
fikih sama halnya dengan membuat sebuah jalan menuju surga.”
Kedudukan Kitab
Kitab yang berjudul Kifayatul Akhyar fi
Hilli Ghayatil Ikhtishar merupakan salah satu kitab fikih yang sangat populer
di negeri kita. Banyak dijadikan sebagai kurikulum pendidikan di berbagai
pesantren, serta karena banyaknya keunggulan kitab ini para ulama dan intelektual
muslim berusaha menterjemahkannya ke berbagai bahasa, di antaranya adalah
bahasa Indonesia, Malaysia, Thailand, Inggris, Perancis dan lainnya.
Contoh
كِتَابُ الطَّهَارَةِ
[KITAB BERSUCI]
Lafazh “KITĀB” diambil dari mashdar KATBI, artinya
mengumpulkan. Orang ‘Arab mengatakan: “takattaba banū fulānin” jika
orang-orang Banu Fulan sedang berkumpul-kumpul. Sama dengan kata-kata katibat-ur-ramali,
itu artinya kumpulan pasir atau tumpukan pasir.
Lafaz THAHĀRAH, arti menurut lughat yaitu bersih. Jika kamu
mengatakan thahharat-uts-tsauba, itu artinya: Aku membersihkan pakaian.
Adapun menurut syara‘. Thahārah ialah usaha menghilangkan hadats atau
najis atau apa saja yang sama dengan hadats atau najis, atau suatu pekerjaan
yang sama dengan usaha-usaha menghilangkan hadats dan najis, seperti
basuhan-basuhan yang ketiga atau kedua, mandi-mandi yang disunnatkan,
memperbarui wudhu’, tayammum dan lain sebagainya. Termasuk segala pekerjaan
yang tidak boleh menghilangkan hadats atau najis, tetapi mempunyai arti yang
sama dengan usaha menghilangkan hadats dan najis.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(الْمَاءُ الَّتِيْ يَجُوْزُ بِهَا
التَّطْهِيْرُ سَبْعُ مِيَاهٍ: مَاءُ السَّمَاءِ، وَ مَاءُ الْبَحْرِ، وَ مَاءُ
النَّهْرِ، وَ مَاءُ الْبِئْرِ، وَ مَاءُ الْعَيْنِ، وَ مَاءُ الثَّلْجِ، وَ مَاءُ
الْبَرَدِ)
[Air yang boleh digunakan untuk bersuci ada tujuh macam:
yaitu:
1.
Air
hujan.
2.
Air
laut,
3.
Air
sungai.
4.
Air
sumur.
5.
Air
sumber (mata air).
6.
Air
es (salju).
7.
Air
barad (embun)].
Dalil yang membolehkannya bersuci dengan menggunakan air
hujan ialah firman Allah s.w.t.:
…وَ يُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً
لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ…..
“…..dan Allah telah menurunkan kepadamu air (hujan)
dari langit untuk menyucikan dirimu (dengan air itu).” (al-Anfāl [8]:
11).
Dan di sana masih ada banyak lagi ayat-ayat yang lain.
Dalil yang membolehkannya bersuci dengan menggunakan air
laut, yaitu sabda Nabi Muḥammad s.a.w. ketika beliau dimintai keterangan
mengenai air laut. Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ.
“Laut itu airnya mensucikan dan bangkainya halal
dimakan.”
Hadits tersebut dianggap shaḥīḥ oleh Ibnu Ḥibbān,
Ibn-us-Sakan, at-Tirmidzī dan Imām Bukhārī.
Dalil yang membolehkannya bersuci dengan menggunakan air
sumur ialah Haditsnya Sahl r.a.:
قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ! إِنَّكَ تَتَوَضَّأُ مِنْ
بِئْرِ بُضَاعَةَ وَ فِيْهَا مَا يُنْجِي النَّاسُ وَ الْحَائِضُ وَ الْجُنُبُ.
فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): الْمَاءُ طَهُوْرٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ.
“Para Sahabat mengajukan pertanyaan kepada Rasūlullāh s.a.w.
: Hai Rasūlullāh! Sungguh engkau telah berwudhu’ dengan air sumur Budhā‘ah,
padahal di sumur itu airnya telah dipakai mencuci oleh orang banyak, ada
perempuan-perempuan yang sedang haidh dan ada pula orang-orang yang junub?
Rasūlullāh s.a.w. menjawab: Air itu suci dan
mensucikan, tidak satu pun benda yang dapat menajiskan air itu.”
Hadits ini dianggap ḥasan oleh at-Tirmidzī dan
dianggap shaḥīḥ oleh Imām Aḥmad dan lainnya.
Adapun air sungai dan air sumber, maka halnya sama dengan
air sumur.
Dalil diperolehkannya bersuci menggunakan air es dan air
barad ialah Haditsnya Abū Hurairah r.a. (nama aslinya ‘Abd-ur-Raḥmān bin
Shahrin, menurut qaul yang ashaḥḥ). Abū Hurairah berkata: Adalah
Rasūlullāh s.a.w. apabila telah bertakbir untuk shalatnya, sebelum membaca
al-Fātiḥah beliau berhenti sejenak. Kemudian aku bertanya: Ya Rasūlullāh! Apa
yang engkau baca? Rasūlullāh s.a.w. menjawab: Aku membaca:
اللهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِيْ وَ بَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا
بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَ الْمَغْرِبِ. اللهُمَّ نَقِّنِيْ مِنْ خَطَايَايَ
كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ. اللهُمَّ اغْسِلْنِيْ مِنْ
خَطَايَايَ بِمَاءِ الثَّلْجِ وَ الْبَرَدِ.
“Ya Allah! Jauhilah diriku
dari kesalahan-kesalahan sebagaimana engkau telah menjauhkan barat dari timur.
Ya Allah! Bersihkanlah diriku dari kesalahan-kesalahan seperti dibersihkannya
pakaian dari kotoran. Ya Allah! Cucilah diriku dari semua kesalahan dengan es
dan air barad.”
(Riwayat Bukhārī dan Muslim).
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(ثُمَّ الْمِيَاهُ عَلَى أَرْبَعَةِ
أَقسَامٍ: طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ غَيْرُ مَكْرُوْهٍ وَ هُوَ الْمَاءُ الْمُطْلَقُ).
[Kemudian air itu ada empat macam:
1. AIR THĀHIR MUTHAHHIR GHAIRU MAKRŪH, yaitu air yang suci serta
mensucikan kepada yang lain dan tidak makruh apabila digunakan, yaitu yang
dinamakan air mutlak!].
Air yang boleh menghilangkan hadats dan menghilangkan najis
yaitu air mutlak. Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan air
mutlak. Ada yang mengatakan: Air Mutlak itu ialah air yang sepi dari
qayd-qayd (ikatan-ikatan) dan sepi dari penambahan kata yang perlu
(tidak pernah lepas).
Definisi ini adalah definisi yang shaḥīḥ, diterangkan
di dalam kitab ar-Raudhah dan kitab al-Muḥarrar, dan telah dinash
oleh Imām Syāfi‘ī. Katanya “sepi dari qayd-qayd”, mengecualikan hal yang
serupa dengan yang tersebut di dalam firman Allah min mā’in dāfiq (air
yang tersendat-sendat keluarnya), dan firman Allah min mā’in mahīn (air
yang hina).
Kata pengarang “penambahan kata yang perlu” mengecualikan
hal serupa dengan air mawar.
Kata pengarang “penambahan kata yang perlu” juga
mengecualikan penambahan kata yang tidak perlu, kadang boleh lepas. Seperti
perkataan “AIR SUNGAI” dan lain sebagainya. Penambahan SUNGAI ini tidak dapat
melepaskan air sungai itu dari keberadaannya yang boleh menghilangkan hadats
dan menghilangkan najis, karena ia masih disebut AIR MUTLAK.
Sebagian Ulama ada yang berkata: Yang disebut air mutlak
ialah air yang tetap menurut semula asal kejadiannya. Ada lagi yang mengatakan:
Air mutlak ialah apa saja yang boleh disebut air. Sebab dikatakannya air
mutlak ialah karena setiap diucapkan, tentu menggunakan arti air yang telah
disebutkan itu. Demikianlah apa yang telah diterangkan oleh Ibnu Shalāḥ dan
diikuti oleh Imām Nawawī di dalam kitabnya Syaraḥ al-Muhadzdzab.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ طَاهِرٌ مُطَهِّرٌ مَكْرُوْهٌ: وَ هُوَ الْمَاءُ
الْمُشَمَّسُ)
[2. Yaitu AIR THĀHIR MUTHAHHIR MAKRŪH. Maksudnya air
suci yang boleh mensucikan terhadap lainnya dan makruh umpama digunakan. Yaitu
air yang dijemur di tempat yang panas].
Apa yang dikatakan oleh pengarang ini adalah macam yang
kedua dari bahagian air yang banyaknya ada empat macam. Yaitu air musyammas,
artinya air yang dijemur di tempat yang panas. Air musyammas ini suci
jika tidak bertemu dengan najis, dan boleh mensucikan, artinya boleh
menghilangkan hadats dan menghilangkan najis, sebab masih tetap disebut air
mutlak. Apakah makruh menggunakannya? Ada khilāf di antara para
Ulama. Qaul yang ashaḥḥ (yang lebih diberatkan) bagi Imām Rāfi‘ī,
hukumnya makrūh. Qaul inilah yang dipastikan oleh pengarang.
Hukum makruh ini, yang dibuat ḥujjah (alasan) oleh Imām Rāfi‘ī ialah
karena Rasūlullāh s.a.w. pernah melarang ‘Ā’isyah menggunakan air musyammas
dan beliau bersabda: Air musyammas itu boleh
mengakibatkan penyakit belang.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās r.a., bahwa Rasūlullāh s.a.w.
telah bersabda:
مَنِ اغْتَسَلَ بِمَاءٍ مُشَمَّسٍ فَأَصَابَهُ
وَضَحٌ فَلَا يُلُوْمَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ.
“Barang siapa mandi dengan air
musyammas lalu terkena penyakit belang, janganlah menyalahkan kecuali kepada
dirinya sendiri.”
Sahabat ‘Umar r.a. tidak suka menggunakan air musyammas
dan berkata: Air musyammas itu menimbulkan penyakit belang.
Kemudian menurut qaul Imām Rāfi‘ī ini, kemakruhan
menggunakan air musyammas tersebut mempunyai dua syarat:
Syarat yang pertama: Terjemurnya harus di dalam bejana yang
tahan pukul, seperti wadah tembaga, besi dan timah. Sebab panas matahari jika
sudah memancar pada wadah logam tersebut, boleh mengluarkan buih yang beserta
karat-karat naik ke permukaan air. Dan dari buih yang beserta karat-karat
itulah timbulnya penyakit belang. Peristiwa seperti itu tidak akan terjadi pada
yang terbuat dari emas atau perak, karena (logam) kedua tersebut sangat bening
(tidak menerima karat). Tetapi menggunakan yang terbuat dari emas dan perak
hukumnya haram menurut apa yang akan diterangkan nanti.
Jadi, andaikata orang menuangkan air musyammas dari
emas atau perak ke dalam wadah yang diperbolehkan memakainya, air itu tidak
makruh, sebab tidak ada buih logam yang dikhawatirkan. Juga tidak makruh
menggunakan air yang dijemur di dalam wadah tembikar (tanah) dan lain-lain,
sebab tidak ada alasan kemakruhannya.
Syarat yang kedua: Menjemurnya harus di daerah yang sangat
panas, tidak di daerah yang dingin atau daerah sederhana panasnya. Sebab
pengaruh sinar matahari di daerah dingin dan sederhana ini adalah lemah. Tidak
ada perbedaan antara disengajakan atau tidaknya jemurnya itu, sebab apa yang
dikhawatirkan tetap wujud. Tidak makruh menggunakan air musyammas di
dalam kolam kecil atau kolam besar, tanpa ada khilāf.
Apakah makruhnya bersifat syar‘ī (hukum agama)
ataukah irsyādī (menunjukkan yang baik dan yang benar)? Ada dua wajah;
dan wajah yang ashaḥḥ menurut Syaraḥ al-Muḥadzdzab, makruhnya
makruh Syar‘ī. Jadi kalau menurut qaul yang ini, orang yang
meninggalkan, akan mendapat pahala sebab meninggalkannya itu. Wajah yang kedua,
makruhnya bersifat Irsyādī. Jadi, kalau menurut qaul yang kedua
ini, orang yang meninggalkan tidak diberi pahala, sebab kemakruhannya ditinjau
dari segi kesehatan.
Ada yang mengatakan bahwa air musyammas itu tidak
makruh secara mutlak. Imām Rāfi‘ī memandang qaul ini sebagai qaul-nya
imam-imam yang tiga, yaitu Abū Ḥanīfah, Mālik dan Imām Aḥmad bin Ḥanbal. Imām
Nawawī berkata di dalam tambahannya pada kitab Ar-Raudhah, bahwa qaul
ini adalah qaul yang rājiḥ dipandang dari segi dalil dan
kebanyakan para Ulama bermazhab pada qaul ini. Hukum makruh tidak
mempunyai dalil yang boleh dianggap benar. Dan kalau kita menghukumkan makruh,
makruhnya adalah makruh tanzīh, tidak boleh menolak keabsahan bersuci
dan penggunaannya khusus pada badan. Kemakruhan ini boleh hilang dengan jalan
didinginkan, menurut qaul yang ashaḥ. Qaul yang ketiga,
boleh dimintakan keterangan dokter. Wallāhu a‘lam.
Apa yang dianggap shaḥīḥ oleh Imām Nawawī, yaitu
hilangnya kemakruhkan sebab didinginkan, justru di dalam Syaraḥ ash-Shaghīr,
Imām Rāfi‘ī menganggap shaḥīḥ tetapnya hukum makruh. Dan di dalam Syaraḥ
al-Muḥadzdzab, Imām Nawawī berkata: Yang betul tidak makruh. Haditsnya
‘Ā’isyah di atas adalah dha‘īf (lemah) dari kesepakatan para Ulama Ahli
Hadits, malah sebagian Muḥadditsīn ada yang menganggap Hadits itu Maudhū‘
(palsu). Demikian juga Hadits yang diriwayatkan oleh Imām Syāfi‘ī dari ‘Umar
bin al-Khaththāb bahwa air musyammas boleh menimbulkan penyakit belang,
adalah dha‘īf juga. Karena kesepakatan ‘Ulamā’ Muḥadditsīn dalam
men-dha‘īf-kan Ibrāhīm bin Muḥammad (salah seorang rawi). Dan Hadits-nya
Ibnu ‘Abbās tidak terkenal. Wallāhu a‘lam.
Apa yang telah disebutkan oleh Imām Nawawī mengenai atsar-nya
‘Umar, tidak dapat diterima. Dakwaan Imām Nawawī bahwa ‘Ulamā’ Maḥadditsīn
telah bersepakat men-dha‘īf-kan Ibrāhīm – salah seorang rawi dari atsar
tersebut- juga tidak dapat dibenarkan, sebab Imām Syāfi‘ī menganggap Ibrāhīm
dapat diandalkan dan dipercaya. Anggapan Syāfi‘ī yang demikian itu cukup untuk
mengesahkan sesuatu Hadits. Dan lagi tidak hanya satu Ḥāfizh yang
menganggap tsiqah (dipercayai) kepada Ibrāhīm. Atsar tersebut
juga diriwayatkan oleh Imām ad-Dāraquthnī dengan isnād lain yang shaḥīḥ.
Imām Nawawī berkata di dalam tambahannya pada kitab ar-Raudhah:
Makruh bersuci dengan air yang sangat panas dan air yang sangat dingin. Wallāhu
a‘lam. Alasannya, karena air tersebut tidak dapat merata ke seluruh anggota
badan. Imām Nawawī (sehubungan dengan sumurnya kaum Tsamūd) berkata: Sumur itu
dilarang digunakan oleh Rasūlullāh s.a.w. Jadi paling ringan, makruh
menggunakan air sumur tersebut.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ طَاهِرٌ غَيْرُ مُطَهِّرٍ: وَ
هُوَ الْمَاءُ الْمُسْتَعْمَلُ)
[3. Yaitu AIR THĀHIR GHAIRU MUTHAHHIR. Maksud-nya
suci yang tidak boleh mensucikan kepada yang lain, yaitu air musta‘mal].
Ini adalah macam yang ketiga di antara bermacam-macamnya
air. Yaitu air yang sudah digunakan untuk menghilankan hadats atau
menghilangkan najis, kalau memang tidak berubah dan tidak bertambah
timbangannya setelah digunakan. Jadi airnya suci, karena sabda Nabi Muḥammad
s.a.w.:
خَلَقَ اللهُ الْمَاءَ طُهُوْرًا لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
إِلَّا غَيَّرَ طَعْمَهُ أَوْ رِيْحَهُ.
“Allah menciptakan air itu
suci mensucikan. Tidak ada satu perkara yang boleh mennajiskan air itu, kecuali
perkara itu boleh merubah rasanya atau baunya.”
Di dalam riwayatnya Ibnu Mājah ada tambahan: atau warnanya.
Hadits riwayat Ibnu Mājah ini dha‘īf. Yang pasti ialah rasa dan baunya
saja.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ الْمُتَغَيِّرُ بِمَا خَالَطَهُ
مِنَ الطَّاهِرَاتِ)
[Demikian juga air yang berubah sebab adanya sesuatu yang
mencampuri berupa benda yang suci].
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ مَاءٌ نَجِسٌ، وَ هُوَ الَّذِيْ
حَلَّتْ فِيْهِ نَجَاسَةٌ، وَ هُوَ دُوْنَ الْقُلَّتَيْنِ، أَوْ كَانَ قُلَّتَيْنِ
فَتَغَيَّرَ).
[4. AIR NAJIS. Yaitu air yang kemasukan benda najis
dan air itu kurang dari dua qullah, atau ada qullah tetapi berubah].
Apa yang diterangkan oleh pengarang ini adalah macam air
yang keempat. Sebagaimana pula pengarang menerangkan bahwa air juga dibagi
menjadi dua. Air yang sedikit dan air yang banyak.
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ لَا يَخْتَصُّ بِشَعَرِ
الْآدَمِيِّ فِي الْأَصَحِّ).
[Rambut ini, tidak khusus rambutnya anak Ādam (manusia),
menurut qaul yang ashaḥḥ].
Berkata Syaikh Abū Syuja‘:
(وَ الْقُلَّتَانِ خَمْسُمِائَةِ
رَطْلٍ بِالْعِرَاقِيِّ تَقْرِيْبًا فِي الْأَصَحِّ).
[Air dua qullah beratnya sama dengan lima ratus paun
Baghdād, menurut qaul yang
Penutup
Kitab Al-Mughni merupakan kitab yang disusun sebagai huraian
(syarah) kepada kitab Mukhtashar al-kharaqi (الخرقي مختصر), sebuah kitab fiqh
dalam mazhab Hanbali karya Abu al-Qasim ‘Umar bin al-Husain bin ‘Abdullah al-Kharaqi.
Sebagaimana kitab-kitab fiqih pada umumnya, kitab ini memulai pembahasan dengan
kitab Thaharah, Shalat, Jenazah, Zakat, Puasa,
I’tikaf, Haji, Nikah dan masih
banyak lagi yang lainnya dengan disertai bab-bab dan pasal-pasal serta
permasalahan ditiap kitabnya, lalu ditutup dengan kitab ‘Itqu Ummahatil Aulad.
Sesuai dengan namanya,
Kifayatul Ahkyar, nampaknya Imam al-Hushni menginginkan kitab ini menjadi
pilihan utama dan terbaik dalam pembahasan masalah-masalah fikih, terutama
dalam mazhab Syafi’i. Beliau mengharapkan kepada umat Islam yang mempelajari
kitab ini untuk menekuninya secara giat. Menurutnya, seorang yang
sungguh-sungguh mempelajari kitab ini serta mengamalkannya dalam kehidupan
sehari-hari maka ia telah membuat sebuah jalan menuju surga.
0 comments:
Post a Comment