MAKALAH
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur mata kuliah
Membahas Kitab Fikih
Dosen Pengampu :

Khofifah Thohir 1163040046
JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
2019
A. BIOGRAFI IBN MAS’UD AL-KASANI
Nama asli Ibn Mas’ud al-Kasani adalah Abu Bakar Mas’ud bin Ahmad bin Alauddin al-Kasani. Sebutan al-Kasani diambil dari istilah kasan, sebuah daerah di sekitar Syasy. Dalam kitab Misytabihun Nisbah karya ad-Dzahabi disebutkan, bahwa daerah kasan merupakan daerah yang luas di Turkistan dan penduduk aslinya sering menyebut daerah tersebut dengan kasan yang berarti sebuah yang indah dan memilki benteng yang kokoh.
Tahun
kelahiran al-Kasani tidak disebutkan dengan jelas, sedangkan waktu wafatnya
adalah pada tanggal 10 Rajab 587 H. Ibn ‘Adim berkata, saya mendapatkan Dhiyya
ad-Din berkata: saya mendatangi al-Kasani pada hari kematiannya dan dia membaca
surah Ibrahim.
Al-Kasani
merupakan salah satu ulama madhab Hanafi yang tinggal di Damaskus pada masa
kekuasaan sultan Nuruddin Mahmud dan di masa ini pula al-Kasani menjadi gubenur
daerah Halawiyah di Alippo. Di
antara guru-guru al-Kasani adalah sebagai berikut:
- Alaudin Mahmud bin Ahmad al-S amarqondi, al-Kasani belajar fiqh dengan beliau, beliau adalah pengarang kitab fiqh at-Thuhfah, al-Kasani membaca sebagian besar karangan-karangannya.
- Sadr al-Islam Abi al-Yasar al-Badawi
- Abu al-Mu’min Maemun al-Khahuli
- Majidul Aimah Imam al-Ridlo al-Syarkasi.
Di antara
murid-murid al-Kasani adalah sebagai berikut:
- Mahmud yaitu putra al-Kasani.
- Ahmad bin Mahmud al-Ghoznawi, yaitu pengarang kitab al-Muqodimah al-Ghoznawiyah al-Fiqh al-Hanafi.
Di antara
karya-karya al-Kasani adalah sebagai berikut:
- Badai’ ash-Shanai’fi Tartib al-Sharai’. Kitab Badai’ ash-Shanai’fi Tartib al-Sharai’, adalah syarah kitab Tukhfah al-Fuquha karya al-Samarqondi.
Al-Kasani
dinikahkan dengan putrid al-Samarqandi yaitu Fatimah. Dikatakan bahwa sebab
perkawinan al-Kasani dengan Fatimah adalah karena Fatimah perempuan yang cantik
yang hafal kitab at-Thuhfah karya ayahnya. Banyak raja-raja dari negeri Ruum
yang melamarnya, ketika al-Kasani mengarang kitab Badai’ dan memperlihatkan
pada gurunya, beliau sangat senang. Kemudian al-Samarqondi menikahkan al-Kasani
dengan putrinya, dimana sebagian maharnya adalah kitab al-Kasani.
Karya
terbesar al-Kasani yaitu kitab fiqh yang berjudul Badai’ ash-Shanai fi Tartib
al-Sharai. Kitab ini merupakan salah satu rujukan bagi orang yang bermadhab
Hanafi, selain kitab al-Mabsut karangan Imam Kamal Ibn Humam. Kitab Badai’
ash-Shanai fi Tartib al-Sharai’ merupakan penjelasan dari kitab tuhfah fuqoha
yang ditulis oleh as-Samarqondi.
Dalam
kitab Badai’ ash-Shanai fi Tartib al-Sharai yang terdiri dari 8 (delapan) jilid
ini, al-Kasani juga membicarakan segala persoalan mulai dari ibadah, sosial dan
politik.
B. Isi dan sistematika kitab
Kitab Bada’i Ash Shana’i adalah uraian atau syarah dari
kitab At Tuhfah (Tuhfatul Fuqaha) karya guru beliau yang bernama Muhammad bin
Ahmad bin Abu Ahmad As Samarqandi (w 540 H) atau yang lebih dikenal dengan nama
Imam As Samarqandi, seorang ulama besar ahli fiqih dari mazhab Hanafi.
Kitab ini meskipun mensyarah isi kitab At Tuhfah, namun
isinya tidak melulu tentang fiqih mazhab Hanafi saja, tetapi penulisnya juga
memasukkan pendapat para ulama dari mazhab lain beserta dalil-dalilnya, seperti
mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali dan lain sebagainya. Sehingga kitab ini bisa
dikatakan sebagai salah satu kitab yang bergenre fiqih perbandingan.
Diantara keistimewaan kitab ini adalah bahasanya mudah
dan ringan tapi bagi yang belum bisa berbahasa Arab tetap aja susah (mohon maaf
bagi yang belum bisa bahasa Arab). Diterbitkan untuk pertama kalinya dengan 7
jilid besar di Kairo pada tahun 1327 H, dengan bantuan 2 orang penduduk Halab
dari keluarga Al Jabiri, yang sebelumnya manuskrip atau naskah asli kitabnya
berada pada salah satu dari keduanya.
C. Istinbath Hukum Ibn Mas’ud Al-Kasani
Metode yang digunakan ulama Hanafiyah banyak bersandar
kepada ra’yun, setelah Kitabullah dan as-Sunnah. Kemudian ia bersandar pada
qiyas, yang ternyata banyak menimbulkan protes dikalangan para ulama yang
tingkat pemikirannya belum sejajar dengannya. Begitu juga halnya dengan
istihsan yang ia jadikan sebagai sandaran pemikiran madzhabnya, mengundang
reaksi kalangan ulama. Sebenarnya kedua masalah itu (qiyas dan istihsan)
mewujudkan keleluasaan pemikirannya. Dan disisi lain, Islam adalah agama yang
mudah dan mengajak pada kemudahan, fleksibel, sejalan dengan akal pikiran,
serta membuka cakrawala pemikiran baru. Abu hanifah dengan madzhabnya ternyata
banyak memudahkan umat. Ia selalu memudahkan umat Islam dalam hal peribadatan
dan muamalah.
D. Berikut
topik yang akan dibahas di dalam kitab Bada’i As-Shana’i :
- Hukum Madzhab Hanafiyah Tentang Nikah Tanpa Wali
pendapat
Madzhab Hanafiyah tentang nikah Tanpa Wali Dalam hubungannya dengan wali dalam
pernikahan bahwa Imam Abu Hanifah membolehkan wanita menikah tanpa wali ia
ungkapkan dalam kitabnya sebagai berikut: Artinya: Perempuan yang merdeka,
baliq, aqil ketika menikahkan dirinya sendiri dengan seorang laki-laki atau
wakil dari laki-laki yang lain dalam suatu pernikahan, maka pernikahan perempuan
itu atau suaminya diperbolehkan. Qaul Abi Hanifah, Zufar dan Abi Yusuf sama
dengan yang awal, perempuan itu boleh menikahkan dirinya sendiri dengan orang
yang kufu atau yang tidak kufu dengan mahar yang lebih kecil atau rendah,
ketika perempuan itu menikahkan dirinya sendiri dengan seorang yang tidak kufu,
maka bagi para wali berhak menghalangi pernikahannya, bila pernikahannya itu
dengan mahar yang kecil. Perlu dijelaskan bahwa Imam Abu Hanifah membolehkan
wanita menikah tanpa wali dengan mendasarkan kepada Al-Qur an dan beberapa
hadits. Al-Qur an yang dimaksud yaitu surat Al-Baqarah ayat 232. Sedangkan
beberapa hadits yang dijadikan dasar untuk menguatkan pendapatnya maka Imam Abu
Hanifah dalam kitabnya mencantumkan beberapa hadits sebagai berikut: 1 Imam
Alaudin Abi Bakar Ibnu Maskud Al-Kasani Al Khanafi, Bada i ash-shana i, Juz II,
Beirut Libanon: Dar al-fikr, hlm. 247.
-
Pendapat ibn Mas’ud Al-Kasani Tentang Kebolehan Thawaf Bagi wanita Haid
Perbedaan pendapat diantara para ulama imam madzhab
disebabkan adanya perbedaan pendapat dalam menafsirkan ayat Al-Qur'an. Namun
hal tersebut bukan merupakan satu-satunya faktor yang menyebabkan adanya
perbedaan pendapat. Karena perbedaan pendapat diantara madzhab-madzhab fiqh
Islam juga dipengaruhi oleh situasi dan kondisi masyarakat dimana madzhab
tersebut lahir. Oleh sebab itu muncul reaksi ats perkembangan masyarakat dan ia
senantiasa berubah, berkembang dan berganti menurut kondisi setiap zaman dan
situasi setiap masyarakat. Fiqh sebagai tarjamah shadiqah dan rinci
terhadap syari’at Islam serta sebagai metode implementasi (manhaj)
al-Qur'an di dalam menata kehidupan.
Pokok pemikiran ini mengharuskan wujud bukti adanya
ikatan yang jelas antara kreasi berpikir mujtahid berupa pendapat hukum
dengan sumber aslinya (adillah al-ahkam). Dalil bagi setiap hukum
berkedudukan sebagai ruh (jiwa) yang untuk mengoperasionalkannya diperlukan
pendekatan berbekal kecakapan yang memadai (malakah). Factor ketepatan
memilih dalil, disamping relatifitas kadar malakah masing-masing mujtahid
yang melakkan ijtihad sesudah masa terputusnya wahyu, telah
menjadikan teramat spekulatif untuk memastikan berada dipihak mana kebenara
hukum sejati yang tunggal itu. kreasi berpikir mujtahid merupakan
keniscayaan, sebab merumuskan hukum fiqh langsung dari al-Qur'an berresiko
melepas Islam dari akar pangkalnya. Demikian juga bila ditempuh lewat
pendekatan as-Sunnah saja, pasti berakses mempersempit wawasan agama dari
kehidupan nyata yang seharusnya diantisipasi bermodal elastisitas hukum terapan
agar agama Islam itu tetap eksis dalam mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan
umat manusia. Berdasarkan terminology fiqh Islam, ijtihad mempunyai
pengertianyang khas dan unik. Al-Ghazali menjelaskan ijtihad sebagai,
mencurahkan segenap kemampuan dalam melakukan sebuah perbuatan. Kemudian
al-Ghazali melanjutkan, tetapi kata ini dalam ‘urf para ulama digunakan secara
spesifik untuk seorang mujtahid yang mencurahkan segenap kemampuannyadalam
menca ri ilmu tentang hukum-hukum syari’at.12 Sedangkan lebih rinci al-Dahlawi
memberikan penjelasan yang lebih tegas dengan kata, Hakikat ijtihad
adalah mencurahkan kemampuan untuk mengetahui hukum-hukum syari’at dari
dalil-dalilnya yang terperinci, yang secara global kembalikepada keempat
macam dalil, yaitu al-Qur'an, as-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.13
Dalam masalah kebolehan thawaf bagi wanita haid,
al-Kasani menggunakan al-Qur'an sebagai dasar hukum pertama, buktinya dalam
hadits tidak ditemukan adanya kebolehan thawaf bagi wanita haid. Didalam
kitabnya Badai’ as-shonai’, al-Kasani menyebutkan bahwa :
“Adapun suci dari hadats, jinabat, haid dan nifas
bukanlah syarat bagi bolehnya thawaf dan tidak fardhu hukumnya menurut kami,
Melainkan wajib, sehingga boleh thawaf tanpa keadan suci”.
Dan juga disebutkan bahwa :
“Dalam thawaf ziarah (thawaf ifadhah), karena kalimat
tasybih tidak ada kategori umum baginya, sehingga dibawa kepada penyerupaan
dalam beberapa seginya untuk mengamalkan al-Qur'an dan sunnah. Kita dapat
mengatakan bahwa thawaf menyerupai shalat, tetapi sebenarnya bukan shalat. Dari
segi thawaf bukan shalat, maka tidak difardhukan thaharah (suci) dalam thawaf.
Dari segi bahwa thawaf serupa dengan thawaf maka ia harus berthaharoh untuk
mengamalkan dua dalil tersebut sebisa mungkin. Jika thaharoh termasuk wajib
thawaf maka jika seseorang berthawaf tanpa thaharoh maka selama masih di
Makkah, ia wajib i’adah (mengulang), karena i’adah adalah jabr16 (paksaan)
baginya terhadap sesuatu dengan yang sejenisnya. Paksaan dengan sesuatu dengan
yang sejenis lebih utama.”
Lebih jauh mengenai hal pelaksanaan thawaf bagi wanita
haid, al-Kasani berpendapat bahwa thawaf dapat dilakukan dalam keadaan tidak
suci. Beliau berhujjah kepada firman Allah (Dan hendaklah
mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu /
Baitullah). Beliau berpendapat bahwa Allah
memerintahkan thawaf ini secara mutlak, tanpa suci. Sehingga tidak boleh
mentaqyid mutlaknya al-Qur'an dengan khabar wahid. Mengenai hadits yang
mengatakan thawaf adalah shalat, beliau membawanya kepada tasybih (perumpamaan
/ perbandingan). Sehingga hadits diatas bermakna al-thawwafu ka al-shalat (thawaf
adalah seperti shalat), yaitu menyerupai shalat baik dalam pakaian maupun
dalam kefardhuannya. Maka dari itu jelaslah bahwa : dalam al-Qur'an tidak
dijelaskan mengenai aturan yang pasti bahwa pelaksanaan thawaf bagi
wanita haid dalam rangkaian pelaksanaan ibadah haji itu harus dalam keadaan
suci, maka dari situ timbul suatu perbedaan diantara para ulama dan para fuqaha
tentang hal ini.
Mayoritas ulama dan fuqaha
melarang thawaf dalam keadaan berhadats. Namun ulama Hanafiyah
membolehkannya. Menurut mereka, seseorang yang melakukan thawaf dalam
keadaan demikian adalah sah tetapi dirinya dikenakan dam. (Ibn Mas’ud
al-Kasani, Bada’i ash-Shana’i fial tartibal Syarai, Jilid III, Darul
Alamiyah, Beirut, hlm 129)
E. Penutup
Karya
terbesar al-Kasani yaitu kitab fiqh yang berjudul Badai’ ash-Shanai fi Tartib
al-Sharai. Kitab ini merupakan salah satu rujukan bagi orang yang bermadhab
Hanafi, selain kitab al-Mabsut karangan Imam Kamal Ibn Humam. Kitab Badai’
ash-Shanai fi Tartib al-Sharai’ merupakan penjelasan dari kitab tuhfah fuqoha
yang ditulis oleh as-Samarqondi.
Dalam
kitab Badai’ ash-Shanai fi Tartib al-Sharai yang terdiri dari 8 (delapan) jilid
ini, al-Kasani juga membicarakan segala persoalan mulai dari ibadah, sosial dan
politik.
0 comments:
Post a Comment