Pages

Friday, May 24, 2019

MAKALAH KITAB BADAI’ ASH-SHANAI FI TARTIB AL-SHARAI




MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur mata kuliah
Membahas Kitab Fikih
Dosen Pengampu :
https://image.psikolif.com/wp-content/uploads/2018/11/Logo-UIN-Bandung-Original-PNG-Terbaru.png
Drs. H. Dadang Syaripudin, M.A
Khofifah Thohir                      1163040046

JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

                                                          2019




          A. BIOGRAFI IBN MAS’UD AL-KASANI


Nama asli Ibn Mas’ud al-Kasani adalah Abu Bakar Mas’ud bin Ahmad bin Alauddin al-Kasani. Sebutan al-Kasani diambil dari istilah kasan, sebuah daerah di sekitar Syasy. Dalam kitab Misytabihun Nisbah karya ad-Dzahabi disebutkan, bahwa daerah kasan merupakan daerah yang luas di Turkistan dan penduduk aslinya sering menyebut daerah tersebut dengan kasan yang berarti sebuah yang indah dan memilki benteng yang kokoh.
Tahun kelahiran al-Kasani tidak disebutkan dengan jelas, sedangkan waktu wafatnya adalah pada tanggal 10 Rajab 587 H. Ibn ‘Adim berkata, saya mendapatkan Dhiyya ad-Din berkata: saya mendatangi al-Kasani pada hari kematiannya dan dia membaca surah Ibrahim.
Al-Kasani merupakan salah satu ulama madhab Hanafi yang tinggal di Damaskus pada masa kekuasaan sultan Nuruddin Mahmud dan di masa ini pula al-Kasani menjadi gubenur daerah Halawiyah di Alippo. Di antara guru-guru al-Kasani adalah sebagai berikut:
  1. Alaudin Mahmud bin Ahmad al-S amarqondi, al-Kasani belajar fiqh dengan beliau, beliau adalah pengarang kitab fiqh at-Thuhfah, al-Kasani membaca sebagian besar karangan-karangannya.
  2. Sadr al-Islam Abi al-Yasar al-Badawi
  3. Abu al-Mu’min Maemun al-Khahuli
  4. Majidul Aimah Imam al-Ridlo al-Syarkasi.
Di antara murid-murid al-Kasani adalah sebagai berikut:
  1. Mahmud yaitu putra al-Kasani.
  2. Ahmad bin Mahmud al-Ghoznawi, yaitu pengarang kitab al-Muqodimah al-Ghoznawiyah al-Fiqh al-Hanafi.
Di antara karya-karya al-Kasani adalah sebagai berikut:
  1. Badai’ ash-Shanai’fi Tartib al-Sharai’. Kitab Badai’ ash-Shanai’fi Tartib al-Sharai’, adalah syarah kitab Tukhfah al-Fuquha karya al-Samarqondi.
Al-Kasani dinikahkan dengan putrid al-Samarqandi yaitu Fatimah. Dikatakan bahwa sebab perkawinan al-Kasani dengan Fatimah adalah karena Fatimah perempuan yang cantik yang hafal kitab at-Thuhfah karya ayahnya. Banyak raja-raja dari negeri Ruum yang melamarnya, ketika al-Kasani mengarang kitab Badai’ dan memperlihatkan pada gurunya, beliau sangat senang. Kemudian al-Samarqondi menikahkan al-Kasani dengan putrinya, dimana sebagian maharnya adalah kitab al-Kasani.
Karya terbesar al-Kasani yaitu kitab fiqh yang berjudul Badai’ ash-Shanai fi Tartib al-Sharai. Kitab ini merupakan salah satu rujukan bagi orang yang bermadhab Hanafi, selain kitab al-Mabsut karangan Imam Kamal Ibn Humam. Kitab Badai’ ash-Shanai fi Tartib al-Sharai’ merupakan penjelasan dari kitab tuhfah fuqoha yang ditulis oleh as-Samarqondi.
Dalam kitab Badai’ ash-Shanai fi Tartib al-Sharai yang terdiri dari 8 (delapan) jilid ini, al-Kasani juga membicarakan segala persoalan mulai dari ibadah, sosial dan politik.
      B. Isi dan sistematika kitab
Kitab Bada’i Ash Shana’i adalah uraian atau syarah dari kitab At Tuhfah (Tuhfatul Fuqaha) karya guru beliau yang bernama Muhammad bin Ahmad bin Abu Ahmad As Samarqandi (w 540 H) atau yang lebih dikenal dengan nama Imam As Samarqandi, seorang ulama besar ahli fiqih dari mazhab Hanafi.

Kitab ini meskipun mensyarah isi kitab At Tuhfah, namun isinya tidak melulu tentang fiqih mazhab Hanafi saja, tetapi penulisnya juga memasukkan pendapat para ulama dari mazhab lain beserta dalil-dalilnya, seperti mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali dan lain sebagainya. Sehingga kitab ini bisa dikatakan sebagai salah satu kitab yang bergenre fiqih perbandingan.

Diantara keistimewaan kitab ini adalah bahasanya mudah dan ringan tapi bagi yang belum bisa berbahasa Arab tetap aja susah (mohon maaf bagi yang belum bisa bahasa Arab). Diterbitkan untuk pertama kalinya dengan 7 jilid besar di Kairo pada tahun 1327 H, dengan bantuan 2 orang penduduk Halab dari keluarga Al Jabiri, yang sebelumnya manuskrip atau naskah asli kitabnya berada pada salah satu dari keduanya.
C. Istinbath Hukum Ibn Mas’ud Al-Kasani
Metode yang digunakan ulama Hanafiyah banyak bersandar kepada ra’yun, setelah Kitabullah dan as-Sunnah. Kemudian ia bersandar pada qiyas, yang ternyata banyak menimbulkan protes dikalangan para ulama yang tingkat pemikirannya belum sejajar dengannya. Begitu juga halnya dengan istihsan yang ia jadikan sebagai sandaran pemikiran madzhabnya, mengundang reaksi kalangan ulama. Sebenarnya kedua masalah itu (qiyas dan istihsan) mewujudkan keleluasaan pemikirannya. Dan disisi lain, Islam adalah agama yang mudah dan mengajak pada kemudahan, fleksibel, sejalan dengan akal pikiran, serta membuka cakrawala pemikiran baru. Abu hanifah dengan madzhabnya ternyata banyak memudahkan umat. Ia selalu memudahkan umat Islam dalam hal peribadatan dan muamalah.
       D. Berikut topik yang akan dibahas di dalam kitab Bada’i As-Shana’i :
- Hukum Madzhab Hanafiyah Tentang Nikah Tanpa Wali
pendapat Madzhab Hanafiyah tentang nikah Tanpa Wali Dalam hubungannya dengan wali dalam pernikahan bahwa Imam Abu Hanifah membolehkan wanita menikah tanpa wali ia ungkapkan dalam kitabnya sebagai berikut: Artinya: Perempuan yang merdeka, baliq, aqil ketika menikahkan dirinya sendiri dengan seorang laki-laki atau wakil dari laki-laki yang lain dalam suatu pernikahan, maka pernikahan perempuan itu atau suaminya diperbolehkan. Qaul Abi Hanifah, Zufar dan Abi Yusuf sama dengan yang awal, perempuan itu boleh menikahkan dirinya sendiri dengan orang yang kufu atau yang tidak kufu dengan mahar yang lebih kecil atau rendah, ketika perempuan itu menikahkan dirinya sendiri dengan seorang yang tidak kufu, maka bagi para wali berhak menghalangi pernikahannya, bila pernikahannya itu dengan mahar yang kecil. Perlu dijelaskan bahwa Imam Abu Hanifah membolehkan wanita menikah tanpa wali dengan mendasarkan kepada Al-Qur an dan beberapa hadits. Al-Qur an yang dimaksud yaitu surat Al-Baqarah ayat 232. Sedangkan beberapa hadits yang dijadikan dasar untuk menguatkan pendapatnya maka Imam Abu Hanifah dalam kitabnya mencantumkan beberapa hadits sebagai berikut: 1 Imam Alaudin Abi Bakar Ibnu Maskud Al-Kasani Al Khanafi, Bada i ash-shana i, Juz II, Beirut Libanon: Dar al-fikr, hlm. 247.
          - Pendapat ibn Mas’ud Al-Kasani Tentang Kebolehan Thawaf Bagi wanita Haid
Perbedaan pendapat diantara para ulama imam madzhab disebabkan adanya perbedaan pendapat dalam menafsirkan ayat Al-Qur'an. Namun hal tersebut bukan merupakan satu-satunya faktor yang menyebabkan adanya perbedaan pendapat. Karena perbedaan pendapat diantara madzhab-madzhab fiqh Islam juga dipengaruhi oleh situasi dan kondisi masyarakat dimana madzhab tersebut lahir. Oleh sebab itu muncul reaksi ats perkembangan masyarakat dan ia senantiasa berubah, berkembang dan berganti menurut kondisi setiap zaman dan situasi setiap masyarakat. Fiqh sebagai tarjamah shadiqah dan rinci terhadap syari’at Islam serta sebagai metode implementasi (manhaj) al-Qur'an di dalam menata kehidupan.
Pokok pemikiran ini mengharuskan wujud bukti adanya ikatan yang jelas antara kreasi berpikir mujtahid berupa pendapat hukum dengan sumber aslinya (adillah al-ahkam). Dalil bagi setiap hukum berkedudukan sebagai ruh (jiwa) yang untuk mengoperasionalkannya diperlukan pendekatan berbekal kecakapan yang memadai (malakah). Factor ketepatan memilih dalil, disamping relatifitas kadar malakah masing-masing mujtahid yang melakkan ijtihad sesudah masa terputusnya wahyu, telah menjadikan teramat spekulatif untuk memastikan berada dipihak mana kebenara hukum sejati yang tunggal itu. kreasi berpikir mujtahid merupakan keniscayaan, sebab merumuskan hukum fiqh langsung dari al-Qur'an berresiko melepas Islam dari akar pangkalnya. Demikian juga bila ditempuh lewat pendekatan as-Sunnah saja, pasti berakses mempersempit wawasan agama dari kehidupan nyata yang seharusnya diantisipasi bermodal elastisitas hukum terapan agar agama Islam itu tetap eksis dalam mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia. Berdasarkan terminology fiqh Islam, ijtihad mempunyai pengertianyang khas dan unik. Al-Ghazali menjelaskan ijtihad sebagai, mencurahkan segenap kemampuan dalam melakukan sebuah perbuatan. Kemudian al-Ghazali melanjutkan, tetapi kata ini dalam ‘urf para ulama digunakan secara spesifik untuk seorang mujtahid yang mencurahkan segenap kemampuannyadalam menca ri ilmu tentang hukum-hukum syari’at.12 Sedangkan lebih rinci al-Dahlawi memberikan penjelasan yang lebih tegas dengan kata, Hakikat ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mengetahui hukum-hukum syari’at dari dalil-dalilnya yang terperinci, yang secara global kembalikepada keempat macam dalil, yaitu al-Qur'an, as-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.13
Dalam masalah kebolehan thawaf bagi wanita haid, al-Kasani menggunakan al-Qur'an sebagai dasar hukum pertama, buktinya dalam hadits tidak ditemukan adanya kebolehan thawaf bagi wanita haid. Didalam kitabnya Badai’ as-shonai’, al-Kasani menyebutkan bahwa :
“Adapun suci dari hadats, jinabat, haid dan nifas bukanlah syarat bagi bolehnya thawaf dan tidak fardhu hukumnya menurut kami, Melainkan wajib, sehingga boleh thawaf tanpa keadan suci”.
Dan juga disebutkan bahwa :
“Dalam thawaf ziarah (thawaf ifadhah), karena kalimat tasybih tidak ada kategori umum baginya, sehingga dibawa kepada penyerupaan dalam beberapa seginya untuk mengamalkan al-Qur'an dan sunnah. Kita dapat mengatakan bahwa thawaf menyerupai shalat, tetapi sebenarnya bukan shalat. Dari segi thawaf bukan shalat, maka tidak difardhukan thaharah (suci) dalam thawaf. Dari segi bahwa thawaf serupa dengan thawaf maka ia harus berthaharoh untuk mengamalkan dua dalil tersebut sebisa mungkin. Jika thaharoh termasuk wajib thawaf maka jika seseorang berthawaf tanpa thaharoh maka selama masih di Makkah, ia wajib i’adah (mengulang), karena i’adah adalah jabr16 (paksaan) baginya terhadap sesuatu dengan yang sejenisnya. Paksaan dengan sesuatu dengan yang sejenis lebih utama.”
            Lebih jauh mengenai hal pelaksanaan thawaf bagi wanita haid, al-Kasani berpendapat bahwa thawaf dapat dilakukan dalam keadaan tidak suci. Beliau berhujjah kepada firman Allah  (Dan hendaklah
mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu / Baitullah). Beliau berpendapat bahwa Allah memerintahkan thawaf ini secara mutlak, tanpa suci. Sehingga tidak boleh mentaqyid mutlaknya al-Qur'an dengan khabar wahid. Mengenai hadits yang mengatakan thawaf adalah shalat, beliau membawanya kepada tasybih (perumpamaan / perbandingan). Sehingga hadits diatas bermakna al-thawwafu ka al-shalat (thawaf adalah seperti shalat), yaitu menyerupai shalat baik dalam pakaian maupun dalam kefardhuannya. Maka dari itu jelaslah bahwa : dalam al-Qur'an tidak dijelaskan mengenai aturan yang pasti bahwa pelaksanaan thawaf bagi wanita haid dalam rangkaian pelaksanaan ibadah haji itu harus dalam keadaan suci, maka dari situ timbul suatu perbedaan diantara para ulama dan para fuqaha tentang hal ini.
Mayoritas ulama dan fuqaha melarang thawaf dalam keadaan berhadats. Namun ulama Hanafiyah membolehkannya. Menurut mereka, seseorang yang melakukan thawaf dalam keadaan demikian adalah sah tetapi dirinya dikenakan dam. (Ibn Mas’ud al-Kasani, Bada’i ash-Shana’i fial tartibal Syarai, Jilid III, Darul Alamiyah, Beirut, hlm 129)
E. Penutup
Karya terbesar al-Kasani yaitu kitab fiqh yang berjudul Badai’ ash-Shanai fi Tartib al-Sharai. Kitab ini merupakan salah satu rujukan bagi orang yang bermadhab Hanafi, selain kitab al-Mabsut karangan Imam Kamal Ibn Humam. Kitab Badai’ ash-Shanai fi Tartib al-Sharai’ merupakan penjelasan dari kitab tuhfah fuqoha yang ditulis oleh as-Samarqondi.
Dalam kitab Badai’ ash-Shanai fi Tartib al-Sharai yang terdiri dari 8 (delapan) jilid ini, al-Kasani juga membicarakan segala persoalan mulai dari ibadah, sosial dan politik.


0 comments:

Post a Comment