Pages

Friday, May 24, 2019

KITAB BIDAYATUL MUJTAHID WA NIHAYAH AL-MUQTASHID



Nama                                    : PIPIT APIANI HANIFAH
Jur/Kelas/Semester       : PMH/B/VI
Mata Kuliah                       : Membahas Kitab Fiqih
Dosen                                   : Dr. H. Dadang Syarifudin, M.A

BIOGRAFI SINGKAT IBNU RUSYD (595H/ 1126-1198 M)
Nama lengkap Ibn Rusyd adalah Abu al-Walid Muhammad Ibn Muhammad Ibn Rusyd. Beliau Lahir di Kordoba Spanyol pada tahun 5H/1126 M, dibesarkan dalam keluarga hakim-hakim yang teguh menegakan agama dan berpengetahuan luas. Neneknya adalah seorang ahli fiqih dan tokoh politik yang berpengaruh serta hakim agung di Andalusia. Ia juga pernah menjadi dokter istana, di cordoba, filosof dan ahli hukum yang berpengaruh di kalangan istana. Ibnu Rusyd wafat pada usia 72 tahun di Maroko pada tahun 1198 H. Ibnu Rusyd belajar matematika, astronomi, filsafat, kedokteran kepada Ibnu Basykawal, Ibnu Masarroh dan Abu Ja’far Harun. Beliau dikenal orang barat dengan nama Averries, lewat karyanya Al-Kulliyyat yang telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa.
Pemikiran-pemikiran Ibnu Rusyd sangat berpengaruh di Negara-negara Eropa, dan banyak di kaji di tingkat universitas. Ia adalah seorang muslim yang ahli bidang filsafat dan kedokteran. Tahun 1169-1195 menulis sejumlah komentar terhadap karya-karya Aristoteles, seperti De Organon, De Anima, Phiysica, Metaphisica, De Partibus Animalia, Parna Naturalisi, Metodologica, RhetoriC, Dn Nichomchen Ethick. Dengan kecerdasannya, komentarnya seolah menghadirkan kembali pemikiran Aristoteles secara lengkap, dan terlihatlah kemampuannya yang luar biasa dalam melakukan pengamatan. Ini sangat berpengaruh kepada pemikiran kaum  Yahudi di kemudian hari, dan membuka Jalan Ibnu Rusyd mengunjungi Eropa untuk mempelajari warisan Aristoteles dan Filsafat Yunani.
Dibidang Agama Ibnu Rusyd menghasilkan sejumlah karya seperti Tahafut tahafut, kitab yang menjawab serangan Abu Hamid al-Ghazali terhadap para Filosof terdahulu. Beliau ahli ilmu agama, dan filsafat, dianggap cukup berhasil mempertemukan hikmah (filsafat) dengan syariat (agama dan wahyu). Menurut Ernest Renan (1823-1892) karyanya mencapai 78 judul yang terdiri 39 judul tentang filsafat, 5 judul tentang kalam, 8 judul tentang fiqih, 20 judul tentang kedokteran, 4 judul tentang ilmu Falak, matematika dan astronomi, 2 judul tentang nahwu dan sastra, diantara karangan Ibnu Rusyd adalah:
       1.       Bidayatul Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid (bidang hukum), berisi perbandingan mazhab (aliran-aliran fiqih dengan alasan-alasannya).
       2.       Kitab kuliyat at-Tib (buku ensiklopedi kedokteran-kedokteran).
      3.       Tahafut al- Tahafut, buku yang terkenal dalam bidang filsafat dan ilmu kalam, ini adalah pembelaan Ibnu Rusyd terhadap kritikan Al-Ghazali terhadap para filosof dan masalah filsafat.
     4.       Al-Kasyfan Manahij al-‘Adillah fi ’Aqaidahl al-Millah, buku tentang metode-metode demonstrative yang berhubungan dengan keyakinan pemeluk agama.
       5.       Fashlal Maqal fi Ma Baina al-Himah Waasy Syirah Min al-Ittishal, buku penjelasan adanya persesuaian antara filsafat dan syariat.
        6.       Al-Mukhtashar fi Ushul al-Ghazali, ringkasan atas kitab al-Musytashfa al-Ghazali.
Demikian selayang panang tentang ahli filsafat, ahli fiqih, dan pemikir islam modern Ibnu Rusyd Allah yarham.

ABSTRAK
Ilmu Fiqih adalah ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syari’at. Sifat fiqih dalam tingkatan ini yakni bersifat aplikatif atau penerapan, dan sumber dari fiqih di tingkat ini mengambil dari dalil-dalil yang rinci. Ilmu fiqih sangat penting, sebab, dalam tingkatan ini, seseorang dapat mengetahui dan membedakan mana sesuatu yang halal dan yang haram, yang benar dan yang salah, serta dengan ilmu fiqih ini, seseorang mampu mengetahui bagian ibadah dan amalan lain yang terdapat dalam hukum syari’at  itu sendiri
Dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, hukum merupakan bidang kajian yang menjadi pembahasan di dalamnya. Dilihat dari judul kitab ini sendiri, dapat kita lihat bahwa di dalam pembahasannya berisi tentang perbandingan hukum dari mazhab-madzhab islam (aliran-aliran fiqih yang lengkap dengan alasan-alasannya). Mengenai kitab ini, Ibnu Rusyd menuturkan tentang penyebab-penyebab timbulnya perbedaan pendapat, alasan-alasan aspeknya dari sejumlah madzhab yang dibahasakannya dalam kitab ini, dan pendapat-pendapat para fuqaha umat Islam dari generasi sahabat serta generasi-generasi sesudah mereka. Tak hanya itu, di dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid ini Ibnu Rusyd juga menjelaskan sandaran dari masing-masing pendapat yang dibahasnya tersebut berikut tarjih dan keterangan mana yang shahih di dalamnya.
Sehingga, dapat penulis katakan bahwa benar-benar layak apabila kitab ini menjadi referensi dalam disiplin ilmu fiqih, baik bagi pelajar, akademisi, maupun masyrakat muslim lainnya. Semoga Allah menjadikan buku ini sebagai amal saleh kepada penulis yang memberatkan timbangan kebaikannya kelak di akhirat. Aamiin..
Kata Kunci         : Fiqih, Syari’ah, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid.

PENDAHULUAN
Sebagaimana diketahui, syarî’at Islâm merupakan risalah penutup yang Allah berikan kepada umat manusia yang disampaikan melalui dakwah Nabî Muhammad SAW. Syari’at Islam bersumber pada al-Qur’ân dan al-Sunnah yang sifat keduanya itu universal, menyeluruh, abadi dan mencakup segala lapangan kehidupan manusia tak terbatasi oleh zaman kapan dan di mana pun manusia berada. Namun seiring dengan perubahan sosial yang memunculkan tuntutan terhadap perubahan serta pembaharuan di bidang hukum, tentu dibutuhkan adanya ijtihâd yang digunakan mengeluarkan hukum dari dua sumber hukum tersebut. Perubahan dan pembaharuan dalam hukum Islâm memang dari dulu telah sangat erat kaitannya dengan masalah ijtihâd.
Ijtihâd yang secara umum dapat berarti pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’.[1] Ijtihâd Dalam rangka pembaharuan hukum Islâm dapat berupa penetapan hukum terhadap masalah-masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya atau penetapan hukum baru untuk menggantikan hukum lama yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kemaslahatan umat manusia.[2] Dinamika hukum Islâm ini terbentuk karena adanya interaksi wahyu dan akal. Itulah yang berkembang menjadi ijtihâd. Akal telah dipandang sebagai sumber fundamental kedua ketika al-Qur’ân dan al-Sunnah diam dan tidak lagi memberi jawaban atas permasalahan yang ada. Ketika suatu prinsip atau aturan syarî’at didasarkan pada makna umum atau implikasi yang luas dari teks al-Qur’ân dan al-Sunnah serta berbeda dengan aturan langsung dari teks yang jelas dan rinci, maka teks dan syarî’at itu harus dihubungkan melalui penalaran hukum para ahli pikir (Mujtahid).
Ijtihâd di zaman sahabat sepeninggal Rasul merupkan metodologi yang tersedia bagi manusia untuk memahami ajaran-ajaran agama. Al-Ghazâlî menyatakan telah terjadi ijmâ’ sahabat, bahkan berita bahwa para sahabat telah menggunakan ijtihâd terhadap kasus-kasus yang tidak dijumpai secara tegas dalam nash telah sampai ke masanya.[3] Metode pengambilan hukum melalui pintu ijtihâd ini adalah merupakan hasil dari kegiatan berpikir dan keyakinan akan hadits yang mengatakan bahwa, diberikan dua pahala bagi seseorang yang melakukan penalaran serta hasi penalarannya benar, dan hanya satu pahala yang diberikan apabila penalarannya salah. Dengan hal ini, dijelaskan bahwa ijtihad diperbolehkan berdasar isi dari hadits tersbeut. Salah satu metode ijtihâd adalah qiyâs, yang merupakan salah satu cara untuk menetapkan hukum yang tidak terdapat secara langsung hukumnya di dalam nash al-Qur’an dan Sunnah.
Qiyâs sebagai metode penalaran hukum ini lazim disebut juga dengan istilah penalaran.[4] Ia berlaku mulai pada masa Rasûlullâh sebagai embrionya dan semakin matang pada masa Abû Hanifah sebagai panglima aliran ahlul Ra’yi. Pemberlakuan qiyâs semacam ini, menimbulkan hukum Islâm yang dinamis, liberal, dan akomodatif terhadap perubahan zaman. Hal ini karena hukum Islâm tidak harus selalu terpasung dalam bayang-bayang teks zhahir dari al-Qur’ân dan al-Sunnah, yang sudah barang tentu memuat sesuatu yang terbatas.[5]
Seiring dengan banyaknya kemajuan zaman dan kenyataan telah banyak berubahnya konsep qiyâs dari bentuk dasarnya pasca masuknya unsur logika Aristoteles, maka perlu adanya reformulasi baru terhadap model penalaran qiyâs dalam ilmu ushûl fiqh. Reformulasi ini diharapkan dapat memberikan maksud untuk mengembalikan qiyâs kepada bentuk dasarnya, yaitu meentukan hukum baru berdasarkan pada perenungan, penalaran, dan analisis sosial yang menekankan pada ruh keadilan Islâm.[6] Ibn Rusyd adalah salah seorang filosof Islâm Andalusia yang banyak mengulas, mengkritik dan mengkomentari pemikiran-pemikiran Aristoteles sehingga ia dijuluki “Sang Komentator”. Selain menjadi seorang filosof, Ibn Rusyd juga dikenal sebagai seorang ahli fiqih dengan karangan monumental lintas ilmu, yaitu kitab Bidâyatal-Mujtahidwa Nihâyatal-Muqtashid.

KITAB  BIDÂYATAL-MUJTAHID WA NIHAAYATUL MUQTASHID, KARAKTERISTIK DAN KELEBIHAN KARYA IBN RUSYD DI BANDING KARYA IMAM MADZHAB LAIN.

Ibn Rusyd merupakan ilmuwan yang berlatar berlakang lintas disiplin ilmu, hal ini terlihat ketika ushûl fiqh yang diintegrasikannya dengan fiqh dalam kitab Bidâyatal-Mujtahid. Dengan pengintegrasian antara ushul fiqih dan fiqih yang dilakukan Ibn Rusd pada kitab ini, tentunya hal tersebut memberikan keistimewaan lebih dalam bidang ushûl fiqh dan fiqh yang ditulis oleh ulama lain. Kebanyakan ulama menulis fiqh dan ushûlnya secara terpisah. Seperti, Imam al-Syâfi’i menulis ushûl fiqh dalam al-Risalah, dan menulis fiqh dalam al-Umm. Kemudian ulama yang lain menulis ushûl fiqh, tetapi tidak dengan fiqh yang merupakan realisasi ushûl fiqhnya itu. Imam al-Gazâlî menulis al-Mushtasfa dalam bidang ushûl fiqh, tetapi karya spesifik fiqhnya tidak pernah ditemukan, justru yang populer darinya ialah karya yang memadukan antara fiqh dan tasawuf, yang dalam kitab fiqihnya tersebut nilai ushûl fiqhnya sangat kering dan tidak ada, seperti kitab yang cukup populer yakni Ihya’Ulum Al-Dîn dan Bidâyat al-Hidâyah. Selain ilam al-Ghazali, juga ada ulama yang melahirkan karya monumental dalam bidang fiqh, tetapi karya ushûl fiqh-nya tidak ditemukan; seperti al-Nawawi yang menulis kitab Muhadzab dan Majmu’ untuk karya fiqh yang tidak menyertakan kitab ushûl fiqhnya, dan masih banyak contoh lagi lain yang dapat kita temukan.
Kitab fiqih eharusnya tidak terpisah dengan ushul fiqihnya. Dimana, ushulnya ini merupakan bentuk realisai dari fiqihnya itu sendiri. Banyak kitab fiqih populer yang dikarang oleh ulama-ulama madzhab tetapi tidak tersertakan dengan ushulnya seperti yang dijelaskan diatas. Hal ini berbeda dengan kitab Bidayatul Mujtahid yang dikarang oleh Ibn Rusd, penerapan teori ushûl fiqh sekaligus produk hukum (istinbâth) dari masing-masing madzhab yang dijelaskan secara singkat dan integral oleh banyak ulama madzhab, oleh Ibn Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid ini disertakan sekaligus antara fiqih dan ushulnya, beliau jelas memberikan suatu pembeda. Ibn Rusyd dalam menyampaikan pandangan-pandangan ulama, tak lupa salalu menyisipkan dalil serta wajh dilalah-nya (cara pengambilan dalil), sehingga pembaca dimungkinkan untuk mengetahui proses pembentukan hukum tersebut, bukan sekadar taklid buta.[7]
Selain itu, di dalam kitab Bidâyah al-Mujtahid ini, fiqh muqârin pendapat-pendapat Imam Madzhab dalam menentukan suatu hukum Islâm dimuat serta diperjelas oleh Ibn Rusyd. Dalam Bidâyatal-Mujtahid dibahas berbagai persoalan fiqhiyah yang di klasifikasikan kedalam beberapa fashl/BAB. Semua masalah yang diungkapkan oleh Ibn Rusyd merupakan permasalahan yang di dalamnya terjadi perselisihan di antara ulama karena adanya perbedaan penafsiran ataupun metode dalam memutuskan sebuah masalah hukum.
Ibn Rusyd yang sangat populer di Barat dan Timur itu mengutip pendapat imam madzhab empat secara jeli dengan cara studi banding, bahkan melampaui madzhab lain di luar madzhab empat. Ia tidak hanya berhenti pada kutipan saja, tetapi juga memberi opini terhadap bermacam pendapat yang ada tersebut dengan argumentasi berdasarkan ayat-ayat suci al-Qur’ân, al-sunnah, ijmâ’ dan qiyâs, bahkan sampai pada mashâlih al-Mursalah, istihsân dan urf.
Menurut Ibn Rusyd, kriteria kefaqihan tidak dapat diukur dengan jumlah dan kuantitas al-masâil al-fiqhiyah yang dihapal seorang ulama, tetapi diukur dengan kemampuan meng-istinbâth hukum langsung dari al-Qur’ân, al-Sunnah dan sumber-sumber lain yang tidak bertentangan dengan kedua sumber tersebut, melalui prosesnya sendiri. Yakni rasionalisasi yang memadai berdasarkan kaidah-kaidah linguistik dan teori ushûl fiqh yang juga merupakan realisasi dari hukum atau fiqihnya itu sendiri.[8]

ISI KITAB BIDAYATUL MUJTAHID WA NIHAYATUL MUQTASHID
Ibnu Rusyd dalam kitab “Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid” menyusun isi kitabnya dengan susunan sebagai berikut:
-          Bagian pertama: Fashal tentang Ibadah.
Pada bagian ini hukum-hukum yang dibahas yaitu: Thaharah, Shalah, Janazah, Zakah, Zakatil Fithri, Shiyam, I’tikaf, Haji, Jihad, Aiman, Nudzur, Dhahaya, Dzaba-Ih, Shaidi, Akikah, Ath’imati Wal Asyribah
-          Bagian kedua: Ahwal Syakhsyiah (Munakahah)
Bagian ini hukum yang dibahas yaitu: Nikah, Thalaq, Ila’, Dhihar, Li’an, Hadlanah, Radla’i, Nafaqat, Itsbatin Nasab, dan Ihdad
-          Bagaian ketiga: Mu’amalat Madaniyah
Hukum yang dibahas dalam bagian ini ialah: Buyu’, Sharfi, Salam, Khiyar, Bai’il Murabahah, Itab Bai’il ‘Ariyah, Irat, Ju’li, Qiradli, Musaqah, Syarikah, Syuf’ah, Qismah

METODE IJTIHÂD IBN RUSYD DALAM BIDÂYATAL-MUJTAHID
Ibn Rusyd menjelaskan dalam mukadimah Bidâyatal-Mujtahid bahwa tujuan dari penulisan kitab ini adalah untuk mengulas problematika hukum Islâm yang disepakati dan yang diperselisihkan, lengkap dengan dalil dan argumentasinya. Di samping itu dijelaskan pula sebab-sebab terjadinya perselisihan, yang pada umumnya berkisar pada masalah pengertian nash dalam syara’.[9] Pengertian inilah yang dapat menghasilkan kesepakatan di kalangan para pakar hukum Islâm atau justru menjadi bahan perselisihan pendapat di kalangan mereka semenjak masa sahabat sampai masa taklid.
Dalam mukadimah kitab Bidâyatal-Mujtahid ini, Ibn Rusyd menyebutkan bahwa hukum Islâm harus terbentuk dan bersumber dari sumber utamanya, yakni al-Qur’ân, dan al-Sunnah. kedua sumber tersebut biasa dinamakan dengan nash. Tetapi, dengan berkembangnya Islâm dan persoalan-persoalan baru yang muncul secara pesat mengakibatkan para fuqaha merasa kesulitan untuk menyelesaikan semua persoalan tersebut hanya dengan bersandar pada nash yang ada.
Ketika problem hukum yang ketentuannya tidak terdapat dalam nash maka diupayakan dapat diketahui hukumnya melalui metode analogi (qiyâs). Sedangkan menurut Zhahiri dan Syî’ah Imamiyah, qiyâs dalam hukum Islâm itu batal. Madzhab Zhahiri tidak mengakui adanya ‘illat nash dan tidak berusaha untuk mengetahui sasaran dan tujuan nash, termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan ‘illatnya.[10] Oleh karena itu, semua problem yang ketentuan hukumnya tidak dibicarakan dalam nash syar’i berarti tidak ada hukumnya menurut syi;ah dan madzhab zahiri.
Dalam mukadimah Bidâyatal-Mujtahid juga, Ibn Rusyd mengatakan kata-kata, perbuatan dan taqrir Nabî, yang kemudian menjadi salah satu sumber hukum Islâm itu sendiri, ada empat macam hukum dan tiga di antaranya sudah disepakati sementara yang satu masih diperselisihkan. Tiga yang disepakati itu adalah:
1.       Kata umum (lafazh ‘âmm) dengan maksud sesuai dengan keumumannya;
2.       Kata khusus (lafazh khâsh) dengan maksud sesuai dengan kekhususannya;
3.       Kata-kata yang mempunyai pengertian umum, tetapi menghendaki pengertian yang khusus, atau kata-kata khusus yang menghendaki pengertian umum.[11]
Tiga macam kata-kata di atas kadang-kadang menggunakan istilah sebagai berikut:
1.       al-tanbih bi al-a’lâ ila al-adnâ (penegasan ketentuan yang lebih rendah dengan ketentuan yang lebih tinggi);
2.       al-tanbih bi al-adnâ ‘ala al-a’lâ (penegasan ketentuan yang lebih tinggi dengan ketentuan yang lebih rendah);
3.       al-tanbih ‘alâ al musawibi al-musawi (penegasan ketentuan yang setara dengan ketentuan yang setara).
Contoh lafazh pertama adalah surat al-Maidah ayat 3:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ الْمَيْتَةُ وَالدَّ مُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ...
Para ulama sepakat bahwa kata khinzîr (babi) meliputi segala jenis babi, kecuali hewan yang kebetulan mempunyai nama yang sama, seperti babi laut. Dan contoh lafazh umum dengan maksud khusus adalah surat at-Taubah: 103
خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُكُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا...
Para ulama sepakat bahwa zakat tidak diwajibkan pada semua harta benda. Sedangkan contoh lafazh khusus dengan maksud umum adalah surat al-Isra’ : 23
فًلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ...
Ayat tersebut termasuk dalam lingkup penegasan ketentuan yang lebih tinggi dengan ketentuan yang lebih rendah. Sebab firman Allâh itu mengandung suatu pengertian tidak boleh memukul, memaki, dan perbuatan-perbuatan lain yang lebih keras.
Masalah ini juga masih diperselisihkan di kalangan para ulama. Terkadang, masalah menjadi obyek hukum itu menggunakan suatu kata yang hanya mempunyai satu arti dan satu pengertian, yang di dalam ilmu ushûl fiqh disebut nash. Dalam hal ini, penentuan hukumnya jelas, tanpa ada perdebatan. Kadang menggunakan kata yang mempunyai arti yang banyak, tidak hanya satu pengertian.
Ijmâ’ ulama (konsensus ulama) sebagai salah satu metode dalam pengambilan hukum Islâm. Jika ijmâ’ terjadi pada salah satu dari empat metode di atas, padahal bukan merupakan dalil qath’i (pasti), maka hukum yang ditetapkan dengan zhan (perkiraan) berubah menjadi hukum qath’i. Ijmâ’ memang bukan merupakan hukum yang berdiri sendiri, jika tidak didasarkan pada salah satu dari empat metode di atas. Sebab jika ijmâ’ mempunyai kedudukan sendiri, berarti sama dengan menetapkan “hukum baru” setelah Nabî Muhammad SAW. Itu berarti tidak mengacu pada ketetapan syara’ yang sah.[12]
Ijmâ’ dalam hal-hal teoritis tidak dapat diketahui secara pasti, begitu juga dalam hal-hal yang yang bersifat praktis. Ijmâ’ umat dalam masalah apapun dan pada masa kapanpun juga tidak dapat diketahui, kecuali jika masanya dibatasi dengan tegas. Semua ulama pada masa itu diketahui dengan jelas, dan pendapat mereka tentang persoalan tertentu sampai secara runtun (mutawâtir). Di samping itu, ada kepastian bahwa semua ulama pada masa tersebut telah sepakat tentang tidak adanya makna lahir dan makna takwil dalam teks syariat tersebut, lalu bersepakat pula bahwa pengetahuan mengenai suatu persoalan tidak boleh dirahasiakan dari orang lain, dan hanya hanya ada satu metode untuk memahami teks syariat tersebut.
Statemen hukum yang bisa diungkap pada seorang mukallaf (orang yang terkena beban hukum), secara garis besar dapat berbentuk amr (perintah), nahy (larangan), dan takhyir memilih salah satu). Amr (perintah) berkonotasi wajib melaksanakan ketetapan hukum dan ada resiko hukuman jika tidak melaksanakan ketetapan hukum tersebut. Jadi Amr menunjukkan hukum wajib. Jika amr dapat dipahami akan mendapatkan imbalan pahala dan tidak ada resiko hukuman, amr tersebut berkonotasi sunat. Demikian juga nahy (larangan), jika pelanggaran ketetapan hukum tersebut disertai dengan hukuman, maka perbuatan itu berkonotasi haram. Tetapi jika nahy itu dapat dipahami hanya sebagai larangan tanpa disertai dengan ancaman hukuman, maka nahy yang berkonotasi makruh.[13]

KEDUDUKAN KITAB  BIDAYATUL MUJTAHID DALAM MADZHAB MALIKI
Kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid yang ditulis oleh Ibnu Rusyd ini merupakan sebuah karya klasik paling komprehensif dan sistematis dalam kajian perbandingan mazhab fikih. Bidayatul Mujtahid yang ditulis oleh Ibn Rusyd menggagas fikih mazhab secara medalam dan kritis dalam setiap pembahasannya. Ibnu Rusyd selalu mengemukakan objek masalah dengan gaya pernyataan. Kemudian, ia jawab dengan mengemukakan pendapat jumhur ulama, lengkap dengan argumentasinya serta dalil al-Quran dan Sunnah. Sementara apabila Nash al-Quran dan Sunnah tidak mampu menjadi rujukan hukum, maka ijtihad beliau lakukan dengan metode qiyash (analogi).
Kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid merupakan kitab rujukan utama dalam madzhab Maliki. Kitab ini merupakan kitab yang sesuai untuk menjadi rujukan awal bagi seseorang yang mulai belajar berijtihad (menggali sumber hukum), dan Nihayah (akhir) bagi seseorang yang mencukupkan dirinya dengan pengetahuan tentang dasar-dasar hukum Islam. Maka, dengan mempelajari kitab ini, seseorang diharapkan mampu berijtihad atas masalah-masalah yang belum ada ketetapan hukumnya, ataupun masalah fikih klasik yang harus disesuaikan ketetapan hukumnya dengan tuntutan zaman.

CONTOH PEMBAHASAN HUKUM DALAM KITAB BIDAYATUL MUJTAHID
Hukum Zakat Fitrah
كِتَابُ زَكَاةِ الْفِطْرِ]]
الْفَصْل الْأَوَّلُ فِي مَعْرِفَةِ حُكْم زَكَاةُ الْفِطْرِ
وَالْكَلَام فِي هَذَا الْكِتَابِ يَتَعَلَّقُ بِفُصُولٍ: الْأَوَّلُ مَعْرِفَةُ حُكْمِهَا. الثَّانِي فِي مَعْرِفَةِ مَنْ تَجِبُ عَلَيْهِ ؟ الثَّالِثُ: كَمْ تَجِبُ عَلَيْهِ، وَمِمَّاذَا تَجِبُ عَلَيْهِ ؟ الرَّابِعُ: مَتَى تَجِبُ عَلَيْهِ ؟ الْخَامِسُ: مَنْ تَجُوزُ لَهُ ؟
الْفَصْلُ الْأَوَّلُ فِي مَعْرِفَةِ حُكْمِهَا فَأَمَّا زَكَاةُ الْفِطْرِ: فَإِنَّ الْجُمْهُورَ عَلَى أَنَّهَا فَرْضٌ، وَذَهَبَ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ إِلَى أَنَّهَا سُنَّةٌ، وَبِهِ قَالَ أَهْلُ الْعِرَاقِ. وَقَالَ قَوْمٌ: هِيَ مَنْسُوخَةٌ بِالزَّكَاةِ وَسَبَبُ اِخْتِلَافِهِمْ: تَعَارُضُ الْآثَارِ فِي ذَلِكَ، وَذَلِكَ بِأَنَّهُ ثَبَتَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِاللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ: «فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – زَكَاةَ الْفِطْرِ عَلَى النَّاسِ مِنْ رَمَضَانَ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِينَ» . وَظَاهِرُ هَذَا يَقْتَضِي الْوُجُوبَ عَلَى مَذْهَبِ مَنْ يُقَلِّدُ الصَّاحِبَ فِي فَهْمِ الْوُجُوبِ أَوِ النَّدْبِ مِنْ أَمْرِهِ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – إِذَا لَمْ يُعَدَّ لَنَا لَفْظَهُ. وَثَبَتَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ فِي حَدِيثِ الْأَعْرَابِيِّ الْمَشْهُورِ: «وَذَكَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الزَّكَاةَ قَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا ؟ قَالَ: لَا إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ فَذَهَب الْجُمْهُورُ إِلَى أَنَّ هَذِهِ الزَّكَاةَ دَاخِلَةٌ تَحْتَ الزَّكَاةِ الْمَفْرُوضَةِ، وَذَهَبَ الْغَيْرُ إِلَى أَنَّهَا غَيْرُ دَاخِلَةٍ، وَاحْتَجُّوا فِي ذَلِكَ بِمَا رُوِيَ عَنْ قَيْسِ بْنِ عُبَادَةَ أَنَّهُ قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَأْمُرُ نَا بِهَا قَبْلَ نُزُولِ الزَّكَاةِ، فَلَمَّا نَزَلَتْ آيَةُ الزَّكَاةِ لَمْ نُؤْمَرْ بِهَا وَلَمْ نُنْهَ عَنْهَا وَنَحْنُ نَفْعَلُهُ.
Artinya:
Kitab Ini Menerangkan Tentang Zakat Fitrah
Bagian pertama, dari merangkan tentang hukumzkat fitrah
Keterangan di dalam kitab ini dikaitkan kepada fasal: yang pertama menerangkan tentang hukumnya zakat fitrah. Ke dua menerangkan siapa orang yang wajib berzakat fitrah?. Ke tiga berapa kewajiban zakat fitrah, dan dari apa-apa yang wajib terhadapnya?. Ke empat kapan kewajiban zakat fitrahnya?. Ke lima, siapa yang boleh menerima zakat fitrahnya.
Fashal pertama dalam mengetahui hukumnya zakat fitrah: sesungguhnya jumhur ulama sepakat bahwa sesungguhnya  zakat fitrah itu fardu, dan sebagian ulama muta’akhirin dari sahabat-sahabat madzhab maliki menyatakan bahwa hukum zakat fitrah itu sunnat. Dan seperti demikian yang dikatakan oleh masyarakat irak. Dan berkata kaum: dan pendapat itu merupakan hal yang di naskh dalam hukum zakat dan menjadi sebab timbulnya perbedaan: kebiasaan atsar shabat dalam hal itu, dan ketetapan tersebut berdasarkan dari hadits Abdulloh bin ‘umar sesungguhnya abdulloh berkata: “telah memfardhukan Rasululloh SAW. zakat fitrah kepada manusia dari bulan romadhon satu Sho’ dari buah kurma atau satu Sho’  dari biji gandum kepada setiap orang yang merdeka atau hamba sahaya laki-laki atau perempuan dari golongan muslim”. Dan dzohirnya hadits ini menjadi dasar ditetapkannya hukum wajib (zakat fitrah) bagi orang yang taklid terhadap madzhab dari pemahaman hukum wajib atau sunnat tentang perintah zakat. _Rasul SAW_ tidak mengulangi ucapanya. Dan menetapkan sesungguhnya Rasul SAW. berkata di dalam percakapan umum masyarakat arab yang terkenal: “Rasul SAW mengingatkan_Zakat. Berkata Rasul ”apakah bagi kami selain itu? Berkata Orang Arab: “tidak. Kecuali apabila yang disunnatkan maa pendapat jumhur bahwa sesungguhnya zakat ini termasuk zakat yang difardhukan, dan diluar pendapat ini sesungguhnya tidak termasuk. Dan bantahan dari hal itu yakni apa yang di riwayatkan oleh Qays bin Ubadah, sesungguhnya Qays berkata: “bukti Rasululloh SAW. memerintahkan kepada kita terhadap zakat fitrah sebelum turunnya ayat zakat, maka ketika turun ayat zakat tidak memerintahkan untuk berzakat dan tidak melarang terhadap zakat dan telah kami lakukan zakat itu.
 [ كِتَابُ السِّرْقَة ]
وَفِي الْحَدُّ، بِهِ يَجِبُ الَّذِي الْمَسْرُوقِ شُرُوطِ وَفِي السَّرِقَةِ، حَدِّ فِي الْكِتَابِ هَذَا فِي وَالنَّظَرُ  
فَأَمَّا .الْجِنَايَةُ هَذِهِ بِهِ تَثْبُتُ  وَفِيمَا الْعُقُوبَةِ، وَفِي  الْحَدُّ، عَلَيْهِ يَجِبُ الَّذِي السَّارِقِ صِفَاتِ
أَجْمَعُوا لِأَنَّهُمْ هَذَا؛ قُلْنَا وَإِنَّمَا عَلَيْهِ، يُؤْتَمَنَ أَنْ غَيْرِ مِنْ مُسْتَتِرًا الْغَيْرِ مَالِ أَخْذُ فَهِيَ السَّرِقَةُ
الْقَطْعَ، الْخِلْسَةِ فِي أَوْجَبَ فَإِنَّهُ مُعَاوِيَةَ، بْنُ إِيَاسُ إِلَّا قَطْعٌ الِاخْتِلَاسِ فِي وَلَا الْخِيَانَةِ فِي لَيْسَ أَنَّهُ
اسْتَعَارَ مَنِ عَلَى الْقَطْعَ قَوْمٌ أَيْضًا وَأَوْجَبَ - وَالسَّلَامُ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ  - النَّبِيِّ عَنِ مَرْوِيٌّ وَذَلِكَ
الْحُلِيَّ، تَسْتَعِيرُ كَانَتْ أَنَّهَا »الْمَشْهُورِ الْمَخْزُومِيَّةِ الْمَرْأَةِ حَدِيثِ لِمَكَانِ جَحَدَهُ؛ ثُمَّ مَتَاعًا، أَوْ حُلِيًّا - .وَإِسْحَاقُ أَحْمَدُ قَالَ وَبِهِ «جُحُودِهَا لَوْضِعِ قَطَعَهَا - وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللَّهُ صَلَّى  اللَّهِ رَسُولَ وَأَنَّ
- النَّبِيُّ فَأَمَرَ وَتَجْحَدُهُ، الْمَتَاعَ تَسْتَعِيرُ مَخْزُومِيَّةٌ امْرَأَةٌ كَانَتِ »:قَالَتْ عَائِشَةَ حَدِيثُ وَالْحَدِيثُ
عَلَيْهِ-  النَّبِيَّ أُسَامَةُ فَكَلَّمَ فَكَلَّمُوهُ، أَهْلُهَا أُسَامَةَ فَأَتَى .يَدِهَا بِقَطْعِ - وَالسَّلَامُ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ
مِنْ حَدٍّ فِي تَتَكَلَّمُ أَرَاكَ لَا أُسَامَةُ، يَا -: وَالسَّلَامُ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ - النَّبِيُّ فَقَالَ - وَالسَّلَامُ الصَّلَاةُ
قَبْلَكُمْ كَانَ مَنْ أَهْلَكَ إِنَّمَا ":فَقَالَ خَطِيبًا،  - وَالسَّلَامُ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ - النَّبِيُّ قَامَ ثُمَّ! اللَّهِ حُدُودِ
كَانَتْ لَوْ بِيَدِهِ، نَفْسِي وَالَّذِي  .قَطَعُوهُ الضَّعِيفُ سَرَقَ وَإِذَا تَرَكُوهُ، الشَّرِيفُ فِيهِمُ سَرَقَ إِذَا أَنَّهُ
. « لَقَطَعْتُهَا مُحَمَّدٍ بِنْتَ فَاطِمَةَ
بِغَيْرِ يَأْخُذْ لَمْ  وَأَنهُمَأْمُونٌ، الْمُعَارَ أَنَّ وَذَلِكَ لِلْأُصُولِ، مُخَالِفٌ لِأَنَّهُ الْحَدِيثَ؛ هَذَا الْجُمْهُورُ وَرَدَّ وَيَدُلُّ جَحَدَتْ أَنَّهَا مَعَ سَرَقَتْ أَنَّهَا وَهُوَ حَذْفٌ، الْحَدِيثِ وَفِي:قَالُوا حِرْزٍ، مِنْ يَأْخُذَ أَنْ فَضْلًا إِذْنٍ الشَّرِيفُ فِيهِمُ سَرَقَ إِذَا أَنَّهُ قَبْلَكُمْ كَانَ مَنْ أَهْلَكَ إِنَّمَا »: وَالسَّلَامُ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ - قَوْلُهُ ذَلِكَ عَلَى : إِنَّ" : فِيهِ فَقَالَ بِإِسْنَادِهِ، الزُّهْرِيِّ عَنِ سَعْدٍ بْنُ اللَّيْثُ الْحَدِيثَ هَذَا وَرَوَى:  قَالُو .« تَرَكُوه
أَجْمَعُوا وَكَذَلِكَ .وَالسَّرِقَةَ الْجَحْدَ جًميْعًا الْأَمْرَيْنِ فَعَلَتِ أَنَّهَا عَلَى يَدُلُّ وَهَذَا."سَرَقَتْ الْمَخْزُومِيَّةَ
الْخَمْرِ فِي ضَرَبَ يَكُونَ أَنْ إِلَّا قَطْعٌ الْمُغَالِبِ الْمُكَابِرِ عَلَى وَلَا الْغَاصِبِ عَلَى لَيْسَ أَنَّهُ عَلَى
الشَّافِعِيُّ قَالَ وَبِهِ أَثْبَتَ، طَرِيقٍ مِنْ - وَالسَّلَامُ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ - النَّبِيِّ عَنِ عَلِيٍّ عَنْ هَذَا وَرُوِيَ « أَرْبَعِينَ
. وَاخْتَلَفُوا  .الْحُدُودِ سَائِرِ فِي الْأَمْرُ وَكَذَلِكَ يُقِيمُهُ، الْإِمَامَ أَنَّ عَلَى فَاتَّفَقُوا الْحَدَّ هَذَا يُقِيمُ مَنْ وَأَمَّا الْقَذْفِ وَحَدَّ الزِّنَى حَدَّ عَبْدِهِ عَلَى السَّيِّدُ يُقِيمُ :مَالِكٌ فَقَالَ عَبِيدِهِمْ، عَلَى الْحُدُوْد السَّادَاتِ إِقَامَة فى .اللَّيْثُ قَالَ وَبِهِ الْإِمَامُ، إِلَّا السَّرِقَةِ فِي يَقْطَعُ وَلَا.نَفْسِه بِعِلْمِ ذَلِكَ يَفْعَلُ وَلَا الشُّهُودُ، عِنْدَهُ شَهِدَ إِذَا جَمِيعَ عَبْدِهِ عَلَى السَّيِّدُ يُقِيمُ:الشَّافِعِيُّ وَقَالَ الْإِمَامُ، إِلَّا الْعَبِيدِ عَلَى الْحُدُودَ يُقِيمُ لَا:حَنِيفَةَ أَبُو وَقَالَ - اللَّهِ رَسُولَ أَنَّ » الْمَشْهُورُ الْحَدِيثُ مَالِكٍ فَعُمْدَةُ ثَوْرٍ وَأَبِي وَإِسْحَاقَ، أَحْمَدَ قَوْلُ وَهُوَ الْحُدُودِ،
إِنْ ثُمَّ فَاجْلِدُوهَا، زَنَتْ إِنْ: فَقَالَ تُحْصَنْ، وَلَمْ نَتْ زَ إِذَا الْأَمَةِ عَنِ سُئِلَ - وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللَّهُ صَلَّى
:-وَالسَّلَامُ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ - وَقَوْلُهُ «بِضَفِيرٍ وَلَوْ بِيعُوهَا ثُمَّ فَاجْلِدُوهَا، زَنَتْ إِنْ ثُمَّ فَاجْلِدُوهَا، زَنَتْ اللَّهُ صَلَّى - عَنْهُ رُوِيَ مَا الْأَحَادِيثِ هَذِهِ مَعَ فَاعْتَمَدَ الشَّافِعِيُّ وَأَمَّا فَلْيًجِدْهَا أَحَدِكُمْ أَمَةُ زَنَتْ إِذَا
مَرْوِيٌّ أَيْضًا وَلِأَنَّهُ أَيْمَانُكُمْ مَلَكَتْ مَا عَلَى الْحُدُودَ أَقِيمُوا »:قَالَ أَنَّهُ عَنْهُ حَدِيثٍ مِنْ - وَسَلَّمَ عَلَيْهِ
أَبِي وَعُمْدَةُ .وَأَنَسٌ مَسْعُودٍ، وَابْنُ عُمَرَ ابْنُ مِنْهُمُ لَهُمْ، مُخَالِفَ وَلَا الصَّحَابَةِ، مِنَ جَمَاعَةٍ عَنْ
بِنْوَعُمَرَ الْحَسَنِ عَنِ وَرُوِيَ .السُّلْطَانُ هُوَ الْحُدُودِ إِقَامَةِ فِي الْأَصْلَ أَنَّ عَلَى الْإِجْمَاعُ حَنِيفَةَ .السُّلْطَانِ إِلَى وَالْحُكْمُ وَالْفَيْءُ وَالزَّكَاةُ الْجُمُعَةُ:قَالُوا أَنَّهُمْ وَغَيْرِهِمْ الْعَزِيزِ عَبْدِ
.عَدْلَيْنِ وَبِشَهَادَةِ بِالْإِقْرَارِ يَثْبُتُ أَنَّهُ عَلَى الْعُلَمَاءُ فَاتَّفَقَ ,الْحَدُّ هَذَا يَثْبُتُ بِمَاذَا وَأَمَّا:فَصْلٌ
بِالرَّائِحَةِ الْحَدُّ يَجِبُ:الْحِجَازِ أَهْلِ وَجُمْهُورُ وَأَصْحَابُهُ مَالِكٌ فَقَالَ بِالرَّائِحَةِ ثُبُوتِهِ فِي وَاخْتَلَفُوا
أَهْلِ وَجُمْهُورُ حَنِيفَةَ وَأَبُو الشَّافِعِيُّ، ذَلِكَ فِي وَخَالَفَهُ .عَدْلَانِ شَاهِدَانِ الْحَاكِمِ عِنْدَ بِهَا شَهِدَ إِذَا فَعُمْدَةُ .بِالرَّائِحَةِ الْحَدُّ يَثْبُتُ لَا:فَقَالُوا الْبَصْرَةِ عُلَمَاءِ وَجُمْهُورُ الْحِجَازِ أَهْلِ مِنْ وَطَائِفَةٌ الْعِرَاقِ، يُثْبِتْهَا لَمْ مَنْ وَعُمْدَةُ وَالْخَطِّ، الصَّوْتِ عَلَى بِالشَّهَادَةِ تَشْبِيهُهَا الرَّائِحَةِ عَلَى الشَّهَادَةَ أَجَازَ مَنْ بِالشُّبَهِ يُدْرَأُ وَالْحَدُّ الرَّوَائِحِ، اشْتِبَاهُ
Kitab pencurian
Yang terlihat dalam kitab ini batasan pencurian, dan syarat pencurian yang wajib dikenai hukum had, dan dalam sifat pencurian yang wajib dikenai hukum had, dan dampaknya, dan dalam perkara yang ditetapkan tentang kejahatan itu. Adapun pencurian adalah merampas/mengambil harta milik orang lain secara sembunyi dari selain yang bukan diamanatkan baginya, dan sesungguhnya berbicara kita semua terhadap pencurian ini:  karena sesungguhnya mereka sepakat sesungguhnya pencurian itu tidak termasuk dalam pengkhianatan dan tidak termasuk dalam penggelapan yang dihukum dengan potong tangan, kecualai Iyas Bin Mu’Awiyah, sesungguhnya Iyas mewajibkan penggelapan untuk dipotong tangan, dan hal ini berdasarkan pada riwayat Nabi SAW. dan juga mewajibkan kepada kaum untuk memotong tangan orang yang memijam permata atau perhiasannya sendiri; ke tempat wanita yang baru berharta “sesungguhnya wanita itu telah terbukti meminjam perhiasan, dan Rasul SAW. memotong tangan wanita yang menyangkal tersebut.” Dan ini di dikatakan oleh Ahmad dan Ishaq.
Dan hadits yang diterima dari Aisyah RA. Berkata aisyah: terbukti seorang wanita yang memiliki harta meminjamkan perhiasanya sendiri. Maka nabi memerintahkan untuk memotong tangannya maka datang usamah  kepada keluarga wanita tersebut maka diceritakanlah oleh usamah. Usamah menceritakan kepada Nabi. Maka berkata Nabi: “jangan melihat, kamu berbicara dalam batas-batas Tuhan! Kemudian berkata Nabi SAW. ketika Khutbahnya: “sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian, sesungguhnya apabila orang terhormat diantara mereka mencuri, maka membiarkannya/meninggalkannya/tidak menghukumnya, dan apabila mencuri orang-orang yang lemah maka mereka memotong tangannya. Dan demi dzat yang diriku ada didalam kekuasaannya, kalau seandainya fathimah binti Muhammad mencuri maka kami (rasul sendiri) akan memotong tangannya”
Dan menolak jumhur ulama terhadap hadits ini! Karena hadits tersebut berbeda dengan asalnya, sehingga meminjam itu lebih dipercaya, dan sesungguhnya meminjam itu tidak mengambil tanpa izin maka lebih utama dari yang mengambil harta. Mereka berkata: “di dalam hadits di potong, dan sesungguhnya wanita tersebut mencuri nya sendiri. Dan menunjukan kepadaku hal tersebut perkataan Rasul SAW. “sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kamu adalah karena mereka membiarkan atau tidak menghukum orang terhormat diantara mereka apabila mereka mencuri”. Mereka berkata: meriwayatkan hadits ini adalah Abu Laits bin Sa’di dari Zuhriyyi dengan sanadnya, maka berkata di dalamnya: “sesungguhnya makhzumiyah di curi.” Dan ini menunjukkan kepadaku sesungguhnya dua urusan sekaligus yakni penyangkalan dan pencurian.”
Dan mereka pun sepakat bahwa hal itu bukan bagian dari perampasandan dan tidak termasuk kasus besar yang biasa di potong tangan, kecuali apabila terbukti memukul dengan keadaan tidak sengaja” dan hadits ini di riwayatkan oleh Ali RA. diterima dari Nabi SAW. dari perjalanan yang tetap.” Dan dengan hadits tersebut berkata imam Syafi’i adapun orang yang menegakkan ketentuan ini maka mereka sepakat  bahwa imam syafi’i menegakkan hukum ini, dan begitu pula ia menganjurkan diluar ketentuan tersebut. Dan Imam Sadat berbeda pendapat dalam menegakkan hukum ini terhadap hamba sahaya mereka, berkatalah Imam Malik: “menegakkan/menghukum tuan kepada hamba sahayanya dengan hukum zina dan hukum pencemaran nama baik, dimana hal tersebut di saksikan oleh beberapa orang saksi, dan itu tidak dikerjakannya dengan pengetahuannya sendiri. Dan tidak memotong tangan pencuri kecuali hakim/imam. Dan berkata imam Abu Laits. Dan berkata Imam Abu Hanifah: tidak ditegakkan hukum hudud kepada hamba sahaya kecuali hakim. Dan berkata Imam Syafi’i: seorang tuan boleh menegakkan hukum hudud kepada budaknya. Dan itu adalah yang dikatakan oleh Imam Ahmad dan Ishaq dan Imam Tsauri.
Imam malik menetapkan terhadap  hadits masyhur:  “sesungguhnya Rasul SAW. ditanya Rasul tentang Amat/Budak perempuan yang berzinah yang bukan muhson, maka berkata Nabi: maka rajamlah ia, kemudian berzinah lagi, maka rajamlah. Kemudian berzinah lagi, maka rajamlah. Kemudian juallah budak itu walau dengan murah.” Dan Nabi bersabda: “dimana berzina seorang amat di antara kamu maka rajamlah dia jilidlah dia” dan imam Syafi’i terkait hadits-hadits yang dia  darinya, Rasul SAW_ dari hadits Nabi SAW, sesungguhnya Nabi bersabda: “ tegakan hukum Had kepada hamba sahaya kalian”. Dan karenanya juga meriwayatkan dari kebanyakan para Sahabat, dan tidak ada ikhtilaf bagi mereka, yakni Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud, dan Anas. Dan terkait itu imam Abu Hanifah sepakat terhadap terhadap dasar dalam menegakkan hukum had  yaitu pemerintah. Dan diriwayatkan dari hasan dan umar bin abdul aziz dan yang lainnya, sesungguhnya mereka berkata: hukum jum’at, zakat, dan harta faiy dan hukumnya diserahkan kepada pemerintah.
Fashal: maka adapun terhadap sesuatu yang ditetapkan pada hukum ini, maka sepakat para Ulama bahwa hukuman tersebut bisa dilakukan dengan bukti dan dua saksi yang adil. Dan berbeda pendapat dalam menetapkan indikasinya (baunya). Maka berkata Imam Malik dan sahabat-sabhabatnya para jumhur yang ahli di hijaz: wajib mengurangi hukuman had, apabila yang menjadi saksi dalam kasus tersebut itu dua saksi yang adil.
Dan iamam Syafi’i berbeda pendapat terhadap hal tersebut, dan imam Abu Hanifah dan umumnya para ulama iraq dan ulama thoif dan ulama hijaz, dan umumnya ulama bashroh, dan mereka berkata: “ tidak ditetapkan hukum  hudud terhadap apabila sekedar indikasi/perkiraan. Batas itu tidak dibuktikan dengan indikasi/sangkaan. Dua saksi dari sangkaan/dugaan/perdugaan diumpakan pada suara dan tulisan. Dan menetapkan kepada yang tidak tetapnya dan hal itu tidak bisa dipastikan dengan sangkaan.
Wallohu a’lam bil muroodhih

PENUTUP
Peulis disini memberikan kesimpulan bahwa, Ibn Rusyd dalam menetapkan sebuah hukum Islâm yakni dalam ilmu fiqih menggunakan sumber utama hukum islam itu sendiri, yakni Al-Qur’ân dan al-Sunnah sebagai dasar utama dari hukum islam tersebut, sebagaimana yang beliau jelaskan mengenai harusnya syari’at islam bersumber pada nash al-Quran dan sunnah di dalam muqodimah kitabnya yakni Bidayatul Mujtahid. Tetapi Ibn Rusyd juga tidak membatasi untuk menggunakan sumber lain selain nash tersebut dalam menentukan hukum islam yang semakin berkembang permasalahannya di zaman sekarang.
Ibn Rusyd tidak memungkiri bahwa kedua nash yang merupakan sumber tersebut yakni Al-Qur’ân dan al-Sunnah itu sangat terbatas untuk permasalahan yang lebih kompleks yang sekarang muncul sepeninggal Rasul dan masa setelahnya, oleh karena itu maka Ibn Rusyd dalam pengambilan hukum atau istinbathul ahkam yang kental terlihat dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid  ini memberikan solusi lain yakni juga mempergunakan ijtihâd sebagai metode alternatif untuk memecahkan problematika hukum syari’at yang semakin ke sini terus menerus berkembang. Dalam memecahkan permasalahan hukum syari’at tersebut yang semakin kompleks Ibn Rusyd banyak menggunakan qiyâs (analogy/ perumpamaan) terhadap hukum yang telah ada ketentuanpenjelasan hukumnya.
Masalah-masalah syar’i yang tidak bisa dijumpai dalam al-Qur’ân dan Sunnah diputuskan dengan menganalogikan atau disamakan dengan hukum-hukum yang sudah ada ketentuannya dalam kedua sumber pokok ajaran Islâm yaitu al-Qur’ân dan al-Sunnah  itu sendiri. Penggunaan ijmâ’ (konsensus) bagi Ibn Rusyd mungkin hanya bisa terjadi dan diterima pada masa sahabat. Mengapa demikian? Karena dengan berkembangnya ajaran Islâm dan semakin luasnya wilayah Islâm sangat sulit terjadi kata mufakat (kesepakatan) bagi semua mujtahid yang hidup pada masa tersebut, yang mana mufakat diantara mujtahid itu sendiri merupakan syarat diterima dan dijadikannya ijma’ atau kesepakatan diantara ulama. Namun baginya, bukan berarti ijma itu sudah tak menjadi metode pengambilan hukum dalam hukum islam, tetapi menurut Ibn Rusyd yang bisa terjadi dalam ijmâ’ hanyalah kesepakatan dalam masalah-masalah ‘amaliyah dan bukan masalah teoritis.


[1] Muhammad Khudari Bik, Ushul al-Fiqh,(Beirut: Dar al-Fikr, 1981), hlm. 367.
[2] Usman Iskandar, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa, 1994), hlm. 113
[3] Muhammad bin Muhammad AbûHâmid al-Ghazâlî, Al-Mustashfa fî ’Ilm al-Ushûl,(Kairo: Al-Matba’ah al-Amîriyah, 1324 H), hlm. 242.
[4] Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, (New Delhi: Adam Publisher & distributor, 1994), hlm. 137.
[5] Muhammad Roy, Ushul Fiqih Madzhab Aristoteles, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004),hlm. 7.
[6] Ahmad Hasan, The Early Development,hlm. 140.
[7] Umdah El-Baroroh, Tadarus Ramadan JIL Seri III Fiqh Ibnu Rusyd: Antara Konservatisme dan Liberalisme, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=931, diakses tanggal 24 Oktober 2010.
[8] IbnRusyd, Bidâyatal-Mujtahid, hlm. 316
[9] IbnRusyd, MukaddimahBidâyatal-Mujtahid , terj A. Hanafi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 8
[10] Muhammad AbûZahrah, Ushul Fiqih, terj. Saefullah Ma’shum et.al, cet. IX, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 340.
[11] IbnRusyd, MukaddimahBidâyatal-Mujtahid, hlm. 10.
[12] Ibn Rusyd, MukadimahBidâyatal-Mujtahid, hlm. 15
[13] Ibid., hlm. 16.                                                                                                                                                                              

0 comments:

Post a Comment