Nama : PIPIT
APIANI HANIFAH
Jur/Kelas/Semester : PMH/B/VI
Mata
Kuliah : Membahas Kitab Fiqih
Dosen : Dr. H.
Dadang Syarifudin,
M.A
BIOGRAFI
SINGKAT IBNU RUSYD (595H/
1126-1198 M)

Pemikiran-pemikiran Ibnu Rusyd sangat berpengaruh di Negara-negara Eropa, dan banyak di kaji di tingkat universitas. Ia adalah seorang muslim yang ahli bidang filsafat dan kedokteran. Tahun 1169-1195
menulis sejumlah komentar terhadap karya-karya Aristoteles, seperti De Organon,
De Anima, Phiysica, Metaphisica, De Partibus Animalia, Parna Naturalisi, Metodologica,
RhetoriC, Dn Nichomchen Ethick. Dengan kecerdasannya, komentarnya seolah menghadirkan kembali pemikiran Aristoteles secara lengkap, dan terlihatlah kemampuannya yang luar biasa dalam melakukan pengamatan. Ini sangat berpengaruh kepada pemikiran kaum Yahudi di kemudian hari, dan membuka Jalan Ibnu Rusyd mengunjungi Eropa untuk mempelajari warisan Aristoteles dan Filsafat Yunani.
Dibidang Agama
Ibnu Rusyd menghasilkan sejumlah karya seperti Tahafut tahafut, kitab yang menjawab serangan Abu Hamid al-Ghazali terhadap para Filosof terdahulu. Beliau ahli ilmu agama, dan filsafat, dianggap cukup berhasil mempertemukan hikmah (filsafat) dengan syariat (agama dan wahyu). Menurut Ernest Renan (1823-1892) karyanya mencapai 78 judul yang terdiri 39 judul tentang filsafat, 5 judul tentang kalam, 8 judul tentang fiqih, 20 judul tentang kedokteran, 4 judul tentang ilmu Falak, matematika dan astronomi, 2 judul tentang nahwu dan sastra, diantara karangan Ibnu Rusyd adalah:
1. Bidayatul Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid (bidang hukum), berisi perbandingan mazhab (aliran-aliran fiqih dengan alasan-alasannya).
2. Kitab kuliyat at-Tib (buku ensiklopedi kedokteran-kedokteran).
3. Tahafut al- Tahafut, buku yang terkenal dalam bidang filsafat dan ilmu kalam, ini adalah pembelaan Ibnu Rusyd terhadap kritikan Al-Ghazali terhadap para filosof dan masalah filsafat.
4. Al-Kasyfan Manahij al-‘Adillah fi ’Aqaidahl al-Millah, buku tentang metode-metode demonstrative yang
berhubungan dengan keyakinan pemeluk agama.
5. Fashlal Maqal fi Ma Baina al-Himah Waasy Syirah Min al-Ittishal, buku penjelasan adanya persesuaian antara filsafat dan syariat.
6. Al-Mukhtashar fi Ushul
al-Ghazali,
ringkasan atas kitab al-Musytashfa
al-Ghazali.
Demikian selayang panang tentang ahli filsafat, ahli fiqih, dan
pemikir islam modern Ibnu Rusyd Allah yarham.
ABSTRAK
Ilmu Fiqih
adalah ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syari’at. Sifat fiqih
dalam tingkatan ini yakni bersifat aplikatif atau penerapan, dan sumber dari fiqih
di tingkat ini mengambil dari dalil-dalil yang rinci. Ilmu fiqih sangat
penting, sebab, dalam tingkatan ini, seseorang dapat mengetahui dan membedakan
mana sesuatu yang halal dan yang haram, yang benar dan yang
salah, serta dengan ilmu fiqih ini, seseorang mampu mengetahui bagian
ibadah dan amalan lain yang terdapat dalam hukum syari’at itu sendiri
Dalam kitab Bidayatul
Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, hukum merupakan bidang kajian yang
menjadi pembahasan di dalamnya. Dilihat dari judul kitab ini sendiri, dapat
kita lihat bahwa di dalam pembahasannya berisi tentang perbandingan hukum dari mazhab-madzhab
islam (aliran-aliran fiqih yang lengkap dengan alasan-alasannya).
Mengenai kitab ini, Ibnu Rusyd menuturkan tentang penyebab-penyebab timbulnya
perbedaan pendapat, alasan-alasan aspeknya dari sejumlah madzhab yang
dibahasakannya dalam kitab ini, dan pendapat-pendapat para fuqaha umat
Islam dari generasi sahabat serta generasi-generasi sesudah mereka. Tak hanya
itu, di dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid ini Ibnu
Rusyd juga menjelaskan sandaran dari masing-masing pendapat yang dibahasnya
tersebut berikut tarjih dan keterangan mana yang shahih di
dalamnya.
Sehingga, dapat
penulis katakan bahwa benar-benar layak apabila kitab ini menjadi referensi
dalam disiplin ilmu fiqih, baik bagi pelajar, akademisi, maupun
masyrakat muslim lainnya. Semoga Allah menjadikan buku ini sebagai amal saleh
kepada penulis yang memberatkan timbangan kebaikannya kelak di akhirat. Aamiin..
Kata Kunci : Fiqih, Syari’ah, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul
Muqtashid.
PENDAHULUAN
Sebagaimana diketahui,
syarî’at Islâm merupakan risalah penutup yang Allah berikan
kepada umat manusia yang disampaikan melalui dakwah Nabî Muhammad SAW. Syari’at
Islam bersumber pada al-Qur’ân dan al-Sunnah yang sifat keduanya
itu universal, menyeluruh, abadi dan mencakup segala lapangan kehidupan manusia
tak terbatasi oleh zaman kapan dan di mana pun manusia berada. Namun
seiring dengan perubahan sosial yang memunculkan tuntutan terhadap perubahan
serta pembaharuan di bidang hukum, tentu dibutuhkan adanya ijtihâd yang
digunakan mengeluarkan hukum dari dua sumber hukum tersebut. Perubahan dan
pembaharuan dalam hukum Islâm memang dari dulu telah sangat erat kaitannya
dengan masalah ijtihâd.
Ijtihâd yang secara
umum dapat berarti
pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid
untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’.[1] Ijtihâd
Dalam rangka pembaharuan hukum Islâm dapat berupa penetapan hukum terhadap
masalah-masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya atau penetapan hukum
baru untuk menggantikan hukum lama yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan
kemaslahatan umat manusia.[2] Dinamika
hukum Islâm ini terbentuk karena adanya interaksi wahyu dan akal. Itulah
yang berkembang menjadi ijtihâd. Akal telah dipandang sebagai sumber
fundamental kedua ketika al-Qur’ân dan al-Sunnah diam dan tidak
lagi memberi jawaban atas permasalahan yang ada. Ketika suatu prinsip atau
aturan syarî’at didasarkan pada makna umum atau implikasi yang luas dari
teks al-Qur’ân dan al-Sunnah serta berbeda dengan aturan langsung
dari teks yang jelas dan rinci, maka teks dan syarî’at itu harus
dihubungkan melalui penalaran hukum para ahli pikir (Mujtahid).
Ijtihâd di zaman sahabat sepeninggal
Rasul merupkan metodologi yang tersedia bagi manusia untuk memahami
ajaran-ajaran agama. Al-Ghazâlî menyatakan telah terjadi ijmâ’ sahabat,
bahkan berita bahwa para sahabat telah menggunakan ijtihâd terhadap
kasus-kasus yang tidak dijumpai secara tegas dalam nash telah sampai ke
masanya.[3] Metode
pengambilan hukum melalui pintu ijtihâd ini adalah merupakan hasil dari
kegiatan berpikir dan keyakinan akan hadits yang mengatakan bahwa, diberikan
dua pahala bagi seseorang yang melakukan penalaran serta hasi penalarannya
benar, dan hanya satu pahala yang diberikan apabila penalarannya salah. Dengan
hal ini, dijelaskan bahwa ijtihad diperbolehkan berdasar isi dari hadits
tersbeut. Salah satu metode ijtihâd adalah qiyâs,
yang merupakan salah satu cara untuk menetapkan hukum yang tidak terdapat
secara langsung hukumnya di dalam nash al-Qur’an dan Sunnah.
Qiyâs sebagai
metode penalaran hukum ini lazim disebut juga dengan istilah penalaran.[4] Ia berlaku mulai pada
masa Rasûlullâh sebagai embrionya dan semakin matang pada masa Abû Hanifah
sebagai panglima aliran ahlul Ra’yi. Pemberlakuan qiyâs semacam
ini, menimbulkan hukum Islâm yang dinamis, liberal, dan akomodatif terhadap
perubahan zaman. Hal ini karena hukum Islâm tidak harus selalu terpasung dalam
bayang-bayang teks zhahir dari al-Qur’ân dan al-Sunnah,
yang sudah barang tentu memuat sesuatu yang terbatas.[5]
Seiring dengan
banyaknya kemajuan zaman dan kenyataan telah banyak berubahnya konsep qiyâs
dari bentuk dasarnya pasca masuknya unsur logika Aristoteles, maka perlu adanya
reformulasi baru terhadap model penalaran qiyâs dalam ilmu ushûl fiqh.
Reformulasi ini diharapkan dapat memberikan maksud untuk mengembalikan qiyâs
kepada bentuk dasarnya, yaitu meentukan hukum baru berdasarkan pada perenungan,
penalaran, dan analisis sosial yang menekankan pada ruh keadilan Islâm.[6]
Ibn Rusyd adalah salah seorang filosof Islâm Andalusia yang banyak mengulas,
mengkritik dan mengkomentari pemikiran-pemikiran Aristoteles sehingga ia
dijuluki “Sang Komentator”. Selain menjadi seorang filosof, Ibn Rusyd juga
dikenal sebagai seorang ahli fiqih dengan karangan monumental lintas ilmu, yaitu
kitab Bidâyatal-Mujtahidwa Nihâyatal-Muqtashid.
KITAB
BIDÂYATAL-MUJTAHID WA NIHAAYATUL MUQTASHID, KARAKTERISTIK DAN KELEBIHAN
KARYA IBN RUSYD DI BANDING KARYA IMAM MADZHAB LAIN.
Ibn Rusyd merupakan ilmuwan yang berlatar berlakang
lintas disiplin ilmu, hal ini terlihat ketika ushûl fiqh yang
diintegrasikannya dengan fiqh dalam kitab Bidâyatal-Mujtahid.
Dengan pengintegrasian antara ushul fiqih dan fiqih yang
dilakukan Ibn Rusd pada kitab ini, tentunya hal tersebut memberikan
keistimewaan lebih dalam bidang ushûl fiqh dan fiqh yang ditulis
oleh ulama lain. Kebanyakan ulama menulis fiqh dan ushûlnya
secara terpisah. Seperti, Imam al-Syâfi’i menulis ushûl fiqh dalam
al-Risalah, dan menulis fiqh dalam al-Umm. Kemudian ulama
yang lain menulis ushûl fiqh, tetapi tidak dengan fiqh yang
merupakan realisasi ushûl fiqhnya itu. Imam al-Gazâlî menulis al-Mushtasfa
dalam bidang ushûl fiqh, tetapi karya spesifik fiqhnya tidak
pernah ditemukan, justru yang populer darinya ialah karya yang memadukan antara
fiqh dan tasawuf, yang dalam kitab fiqihnya tersebut nilai
ushûl fiqhnya sangat kering dan tidak ada, seperti kitab yang
cukup populer yakni Ihya’Ulum Al-Dîn dan Bidâyat al-Hidâyah.
Selain ilam al-Ghazali, juga ada ulama yang melahirkan karya monumental dalam bidang
fiqh, tetapi karya ushûl fiqh-nya tidak ditemukan; seperti al-Nawawi
yang menulis kitab Muhadzab dan Majmu’ untuk karya fiqh
yang tidak menyertakan kitab ushûl fiqhnya, dan masih banyak contoh lagi
lain yang dapat kita temukan.
Kitab fiqih eharusnya tidak
terpisah dengan ushul fiqihnya. Dimana, ushulnya ini merupakan
bentuk realisai dari fiqihnya itu sendiri. Banyak kitab fiqih
populer yang dikarang oleh ulama-ulama madzhab tetapi tidak tersertakan dengan ushulnya
seperti yang dijelaskan diatas. Hal ini berbeda dengan kitab Bidayatul
Mujtahid yang dikarang oleh Ibn Rusd, penerapan teori ushûl fiqh
sekaligus produk hukum (istinbâth) dari masing-masing madzhab yang
dijelaskan secara singkat dan integral oleh banyak ulama madzhab, oleh Ibn
Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid ini disertakan sekaligus antara fiqih
dan ushulnya, beliau jelas memberikan suatu pembeda. Ibn Rusyd dalam menyampaikan
pandangan-pandangan ulama, tak lupa salalu menyisipkan dalil serta wajh
dilalah-nya (cara pengambilan dalil), sehingga pembaca dimungkinkan untuk
mengetahui proses pembentukan hukum tersebut, bukan sekadar taklid buta.[7]
Selain itu, di dalam kitab Bidâyah
al-Mujtahid ini, fiqh muqârin pendapat-pendapat Imam Madzhab
dalam menentukan suatu hukum Islâm dimuat serta diperjelas oleh Ibn Rusyd.
Dalam Bidâyatal-Mujtahid dibahas berbagai persoalan fiqhiyah yang
di klasifikasikan kedalam beberapa fashl/BAB. Semua masalah yang diungkapkan
oleh Ibn Rusyd merupakan permasalahan yang di dalamnya terjadi perselisihan di
antara ulama karena adanya perbedaan penafsiran ataupun metode dalam memutuskan
sebuah masalah hukum.
Ibn Rusyd yang sangat populer di Barat dan
Timur itu mengutip pendapat imam madzhab empat secara jeli dengan cara
studi banding, bahkan melampaui madzhab lain di luar madzhab
empat. Ia tidak hanya berhenti pada kutipan saja, tetapi juga memberi opini
terhadap bermacam pendapat yang ada tersebut dengan argumentasi berdasarkan
ayat-ayat suci al-Qur’ân, al-sunnah, ijmâ’ dan qiyâs, bahkan
sampai pada mashâlih al-Mursalah, istihsân dan urf.
Menurut Ibn Rusyd, kriteria kefaqihan
tidak dapat diukur dengan jumlah dan kuantitas al-masâil al-fiqhiyah
yang dihapal seorang ulama, tetapi diukur dengan kemampuan meng-istinbâth
hukum langsung dari al-Qur’ân, al-Sunnah dan sumber-sumber lain yang
tidak bertentangan dengan kedua sumber tersebut, melalui prosesnya sendiri.
Yakni rasionalisasi yang memadai berdasarkan kaidah-kaidah linguistik dan teori
ushûl fiqh yang juga merupakan realisasi dari hukum atau fiqihnya
itu sendiri.[8]
ISI KITAB BIDAYATUL MUJTAHID WA NIHAYATUL MUQTASHID
Ibnu Rusyd dalam kitab “Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid” menyusun isi kitabnya dengan susunan sebagai
berikut:
-
Bagian pertama: Fashal tentang Ibadah.
Pada
bagian ini hukum-hukum yang dibahas
yaitu: Thaharah,
Shalah, Janazah, Zakah, Zakatil Fithri, Shiyam, I’tikaf, Haji, Jihad, Aiman, Nudzur, Dhahaya, Dzaba-Ih, Shaidi, Akikah, Ath’imati Wal Asyribah
-
Bagian kedua: Ahwal Syakhsyiah
(Munakahah)
Bagian
ini hukum yang dibahas
yaitu: Nikah,
Thalaq, Ila’, Dhihar, Li’an, Hadlanah, Radla’i, Nafaqat, Itsbatin Nasab, dan Ihdad
-
Bagaian ketiga: Mu’amalat Madaniyah
Hukum yang dibahas dalam bagian ini ialah: Buyu’,
Sharfi, Salam, Khiyar, Bai’il Murabahah, Itab Bai’il ‘Ariyah, Irat, Ju’li, Qiradli, Musaqah,
Syarikah, Syuf’ah, Qismah
METODE IJTIHÂD IBN RUSYD DALAM BIDÂYATAL-MUJTAHID
Ibn Rusyd menjelaskan dalam mukadimah Bidâyatal-Mujtahid
bahwa tujuan dari penulisan kitab ini adalah untuk mengulas problematika hukum
Islâm yang disepakati dan yang diperselisihkan, lengkap dengan dalil dan
argumentasinya. Di samping itu dijelaskan pula sebab-sebab terjadinya
perselisihan, yang pada umumnya berkisar pada masalah pengertian nash
dalam syara’.[9]
Pengertian inilah yang dapat menghasilkan kesepakatan di kalangan para pakar
hukum Islâm atau justru menjadi bahan perselisihan pendapat di kalangan mereka
semenjak masa sahabat sampai masa taklid.
Dalam mukadimah kitab Bidâyatal-Mujtahid
ini, Ibn Rusyd menyebutkan bahwa hukum Islâm harus terbentuk dan bersumber dari
sumber utamanya, yakni al-Qur’ân, dan al-Sunnah. kedua sumber
tersebut biasa dinamakan dengan nash. Tetapi, dengan berkembangnya Islâm
dan persoalan-persoalan baru yang muncul secara pesat mengakibatkan para fuqaha
merasa kesulitan untuk menyelesaikan semua persoalan tersebut hanya dengan
bersandar pada nash yang ada.
Ketika problem hukum yang ketentuannya tidak terdapat
dalam nash maka diupayakan dapat diketahui hukumnya melalui metode
analogi (qiyâs). Sedangkan menurut Zhahiri dan Syî’ah Imamiyah, qiyâs
dalam hukum Islâm itu batal. Madzhab Zhahiri tidak mengakui adanya ‘illat
nash dan tidak berusaha untuk mengetahui sasaran dan tujuan nash,
termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang
sesuai dengan ‘illatnya.[10]
Oleh karena itu, semua problem yang ketentuan hukumnya tidak dibicarakan dalam nash
syar’i berarti tidak ada hukumnya menurut syi;ah dan madzhab zahiri.
Dalam mukadimah Bidâyatal-Mujtahid juga, Ibn Rusyd
mengatakan kata-kata, perbuatan dan taqrir Nabî, yang kemudian menjadi
salah satu sumber hukum Islâm itu sendiri, ada empat macam hukum dan tiga di
antaranya sudah disepakati sementara yang satu masih diperselisihkan. Tiga yang
disepakati itu adalah:
1. Kata umum (lafazh
‘âmm) dengan maksud sesuai dengan keumumannya;
2. Kata khusus (lafazh
khâsh) dengan maksud sesuai dengan kekhususannya;
3. Kata-kata yang
mempunyai pengertian umum, tetapi menghendaki pengertian yang khusus, atau
kata-kata khusus yang menghendaki pengertian umum.[11]
Tiga macam kata-kata di atas kadang-kadang menggunakan
istilah sebagai berikut:
1. al-tanbih bi
al-a’lâ ila al-adnâ (penegasan ketentuan yang lebih rendah dengan ketentuan
yang lebih tinggi);
2. al-tanbih bi
al-adnâ ‘ala al-a’lâ (penegasan ketentuan yang lebih tinggi dengan ketentuan
yang lebih rendah);
3. al-tanbih ‘alâ
al musawibi al-musawi (penegasan ketentuan yang setara dengan ketentuan yang
setara).
Contoh lafazh pertama adalah surat al-Maidah ayat
3:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ الْمَيْتَةُ وَالدَّ مُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ...
Para
ulama sepakat bahwa kata khinzîr (babi) meliputi segala jenis
babi, kecuali hewan yang kebetulan mempunyai nama yang sama, seperti babi laut.
Dan contoh lafazh umum dengan maksud khusus adalah surat at-Taubah: 103
خُذْ مِنْ
اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُكُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا...
Para ulama sepakat
bahwa zakat tidak diwajibkan pada semua harta benda. Sedangkan contoh lafazh khusus dengan maksud umum adalah
surat al-Isra’ : 23
فًلاَ تَقُلْ
لَهُمَا أُفٍّ...
Ayat tersebut
termasuk dalam lingkup penegasan ketentuan yang lebih tinggi dengan ketentuan
yang lebih rendah. Sebab firman Allâh
itu mengandung
suatu pengertian tidak boleh memukul, memaki, dan perbuatan-perbuatan lain yang
lebih keras.
Masalah
ini juga masih diperselisihkan di kalangan para ulama. Terkadang, masalah
menjadi obyek hukum itu menggunakan suatu kata yang hanya mempunyai satu arti
dan satu pengertian, yang di dalam ilmu ushûl fiqh disebut nash. Dalam hal ini, penentuan hukumnya jelas,
tanpa ada perdebatan. Kadang menggunakan kata yang mempunyai arti yang banyak,
tidak hanya satu pengertian.
Ijmâ’ ulama (konsensus ulama) sebagai
salah satu metode dalam pengambilan hukum Islâm. Jika ijmâ’ terjadi pada salah satu dari
empat metode di atas, padahal bukan merupakan dalil qath’i (pasti), maka hukum yang
ditetapkan dengan zhan (perkiraan) berubah menjadi
hukum qath’i. Ijmâ’ memang bukan merupakan hukum yang berdiri
sendiri, jika tidak didasarkan pada salah satu dari empat metode di atas. Sebab
jika ijmâ’ mempunyai
kedudukan sendiri, berarti sama dengan menetapkan “hukum baru” setelah Nabî Muhammad SAW. Itu berarti tidak
mengacu pada ketetapan syara’ yang sah.[12]
Ijmâ’ dalam hal-hal teoritis tidak
dapat diketahui secara pasti, begitu juga dalam hal-hal yang yang bersifat
praktis. Ijmâ’ umat
dalam masalah apapun dan pada masa kapanpun juga tidak dapat diketahui, kecuali
jika masanya dibatasi dengan tegas. Semua ulama pada masa itu diketahui dengan
jelas, dan pendapat mereka tentang persoalan tertentu sampai secara runtun (mutawâtir).
Di samping itu, ada kepastian bahwa semua ulama pada masa tersebut telah
sepakat tentang tidak adanya makna lahir dan makna takwil dalam teks syariat
tersebut, lalu bersepakat pula bahwa pengetahuan mengenai suatu persoalan tidak
boleh dirahasiakan dari orang lain, dan hanya hanya ada satu metode untuk
memahami teks syariat tersebut.
Statemen hukum yang bisa diungkap pada seorang mukallaf
(orang yang terkena beban hukum), secara garis besar dapat berbentuk amr
(perintah), nahy (larangan), dan takhyir memilih salah satu). Amr
(perintah) berkonotasi wajib melaksanakan ketetapan hukum dan ada resiko hukuman jika
tidak melaksanakan ketetapan hukum tersebut. Jadi Amr menunjukkan hukum
wajib. Jika amr dapat dipahami akan mendapatkan imbalan pahala dan tidak
ada resiko hukuman, amr tersebut berkonotasi sunat. Demikian juga
nahy (larangan), jika pelanggaran ketetapan hukum tersebut disertai
dengan hukuman, maka perbuatan itu berkonotasi haram. Tetapi jika nahy
itu dapat dipahami hanya sebagai larangan tanpa disertai dengan ancaman
hukuman, maka nahy yang berkonotasi makruh.[13]
KEDUDUKAN KITAB BIDAYATUL MUJTAHID
DALAM MADZHAB MALIKI
Kitab Bidayah
al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid yang ditulis oleh Ibnu Rusyd ini
merupakan sebuah karya klasik paling komprehensif dan sistematis dalam kajian
perbandingan mazhab fikih. Bidayatul Mujtahid
yang ditulis oleh Ibn Rusyd menggagas
fikih mazhab secara medalam dan kritis dalam setiap pembahasannya. Ibnu
Rusyd selalu mengemukakan objek masalah dengan gaya pernyataan. Kemudian, ia
jawab dengan mengemukakan pendapat jumhur ulama, lengkap dengan
argumentasinya serta dalil al-Quran
dan Sunnah. Sementara apabila Nash al-Quran dan Sunnah
tidak mampu menjadi rujukan hukum, maka ijtihad beliau lakukan dengan
metode qiyash (analogi).
Kitab Bidayah
al-Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid merupakan kitab rujukan utama dalam madzhab
Maliki. Kitab ini merupakan kitab yang sesuai untuk menjadi rujukan awal bagi
seseorang yang mulai belajar berijtihad (menggali sumber hukum), dan Nihayah
(akhir) bagi seseorang yang mencukupkan dirinya dengan pengetahuan tentang
dasar-dasar hukum Islam. Maka, dengan mempelajari kitab ini, seseorang
diharapkan mampu berijtihad atas masalah-masalah yang belum ada ketetapan
hukumnya, ataupun masalah fikih klasik yang harus disesuaikan ketetapan
hukumnya dengan tuntutan zaman.
CONTOH PEMBAHASAN HUKUM DALAM KITAB BIDAYATUL MUJTAHID
Hukum Zakat Fitrah
كِتَابُ زَكَاةِ
الْفِطْرِ]]
الْفَصْل الْأَوَّلُ
فِي مَعْرِفَةِ حُكْم زَكَاةُ الْفِطْرِ
وَالْكَلَام فِي
هَذَا الْكِتَابِ يَتَعَلَّقُ بِفُصُولٍ: الْأَوَّلُ مَعْرِفَةُ حُكْمِهَا. الثَّانِي فِي مَعْرِفَةِ
مَنْ تَجِبُ عَلَيْهِ ؟ الثَّالِثُ: كَمْ تَجِبُ عَلَيْهِ، وَمِمَّاذَا تَجِبُ عَلَيْهِ ؟ الرَّابِعُ: مَتَى تَجِبُ عَلَيْهِ ؟ الْخَامِسُ: مَنْ تَجُوزُ
لَهُ ؟
الْفَصْلُ الْأَوَّلُ فِي مَعْرِفَةِ حُكْمِهَا فَأَمَّا
زَكَاةُ الْفِطْرِ: فَإِنَّ الْجُمْهُورَ عَلَى أَنَّهَا فَرْضٌ، وَذَهَبَ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ
مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ إِلَى أَنَّهَا سُنَّةٌ، وَبِهِ قَالَ أَهْلُ الْعِرَاقِ.
وَقَالَ قَوْمٌ: هِيَ مَنْسُوخَةٌ بِالزَّكَاةِ وَسَبَبُ اِخْتِلَافِهِمْ:
تَعَارُضُ الْآثَارِ فِي ذَلِكَ، وَذَلِكَ بِأَنَّهُ ثَبَتَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِاللَّهِ
بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ: «فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
– زَكَاةَ الْفِطْرِ عَلَى النَّاسِ مِنْ رَمَضَانَ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا
مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِينَ»
. وَظَاهِرُ هَذَا يَقْتَضِي الْوُجُوبَ عَلَى مَذْهَبِ مَنْ يُقَلِّدُ الصَّاحِبَ
فِي فَهْمِ الْوُجُوبِ أَوِ النَّدْبِ مِنْ أَمْرِهِ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ
– إِذَا لَمْ يُعَدَّ لَنَا لَفْظَهُ. وَثَبَتَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ فِي حَدِيثِ الْأَعْرَابِيِّ الْمَشْهُورِ: «وَذَكَرَ رَسُولُ
اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الزَّكَاةَ قَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا
؟ قَالَ: لَا إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ فَذَهَب الْجُمْهُورُ إِلَى أَنَّ هَذِهِ الزَّكَاةَ
دَاخِلَةٌ تَحْتَ الزَّكَاةِ الْمَفْرُوضَةِ، وَذَهَبَ الْغَيْرُ إِلَى أَنَّهَا غَيْرُ
دَاخِلَةٍ، وَاحْتَجُّوا فِي ذَلِكَ بِمَا رُوِيَ عَنْ قَيْسِ بْنِ عُبَادَةَ أَنَّهُ
قَالَ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَأْمُرُ نَا
بِهَا قَبْلَ نُزُولِ الزَّكَاةِ، فَلَمَّا نَزَلَتْ آيَةُ الزَّكَاةِ لَمْ نُؤْمَرْ
بِهَا وَلَمْ نُنْهَ عَنْهَا وَنَحْنُ نَفْعَلُهُ.
Artinya:
Kitab Ini Menerangkan Tentang Zakat
Fitrah
Bagian pertama,
dari merangkan tentang hukumzkat fitrah
Keterangan
di dalam kitab ini dikaitkan kepada fasal: yang pertama menerangkan tentang
hukumnya zakat fitrah. Ke dua menerangkan siapa orang yang wajib berzakat
fitrah?. Ke tiga berapa kewajiban zakat fitrah, dan dari apa-apa yang wajib
terhadapnya?. Ke empat kapan kewajiban zakat fitrahnya?. Ke lima, siapa yang
boleh menerima zakat fitrahnya.
Fashal
pertama dalam mengetahui hukumnya zakat fitrah: sesungguhnya jumhur ulama
sepakat bahwa sesungguhnya zakat fitrah
itu fardu, dan sebagian ulama muta’akhirin dari sahabat-sahabat madzhab maliki
menyatakan bahwa hukum zakat fitrah itu sunnat. Dan seperti demikian yang
dikatakan oleh masyarakat irak. Dan berkata kaum: dan pendapat itu merupakan
hal yang di naskh dalam hukum zakat dan menjadi sebab timbulnya perbedaan:
kebiasaan atsar shabat dalam hal itu, dan ketetapan tersebut berdasarkan dari
hadits Abdulloh bin ‘umar sesungguhnya abdulloh berkata: “telah memfardhukan
Rasululloh SAW. zakat fitrah kepada manusia dari bulan romadhon satu Sho’ dari
buah kurma atau satu Sho’ dari biji
gandum kepada setiap orang yang merdeka atau hamba sahaya laki-laki atau
perempuan dari golongan muslim”. Dan dzohirnya hadits ini menjadi dasar
ditetapkannya hukum wajib (zakat fitrah) bagi orang yang taklid terhadap
madzhab dari pemahaman hukum wajib atau sunnat tentang perintah zakat. _Rasul
SAW_ tidak mengulangi ucapanya.
Dan menetapkan
sesungguhnya Rasul SAW. berkata di dalam percakapan umum masyarakat arab yang
terkenal: “Rasul SAW mengingatkan_Zakat. Berkata Rasul ”apakah bagi kami selain
itu? Berkata Orang Arab: “tidak. Kecuali apabila yang disunnatkan maa pendapat
jumhur bahwa sesungguhnya zakat ini termasuk zakat yang difardhukan, dan diluar
pendapat ini sesungguhnya tidak termasuk. Dan bantahan dari hal itu yakni apa
yang di riwayatkan oleh Qays bin Ubadah, sesungguhnya Qays berkata: “bukti
Rasululloh SAW. memerintahkan kepada kita terhadap zakat fitrah sebelum
turunnya ayat zakat, maka ketika turun ayat zakat tidak memerintahkan untuk
berzakat dan tidak melarang terhadap zakat dan telah kami lakukan zakat itu.
[ كِتَابُ السِّرْقَة ]
وَفِي الْحَدُّ، بِهِ يَجِبُ الَّذِي الْمَسْرُوقِ شُرُوطِ وَفِي السَّرِقَةِ، حَدِّ فِي الْكِتَابِ هَذَا فِي وَالنَّظَرُ
فَأَمَّا .الْجِنَايَةُ هَذِهِ بِهِ تَثْبُتُ وَفِيمَا الْعُقُوبَةِ، وَفِي الْحَدُّ، عَلَيْهِ يَجِبُ الَّذِي السَّارِقِ صِفَاتِ
أَجْمَعُوا لِأَنَّهُمْ هَذَا؛ قُلْنَا وَإِنَّمَا عَلَيْهِ، يُؤْتَمَنَ أَنْ غَيْرِ مِنْ مُسْتَتِرًا الْغَيْرِ مَالِ أَخْذُ فَهِيَ السَّرِقَةُ
الْقَطْعَ، الْخِلْسَةِ فِي أَوْجَبَ فَإِنَّهُ مُعَاوِيَةَ، بْنُ إِيَاسُ إِلَّا قَطْعٌ الِاخْتِلَاسِ فِي وَلَا الْخِيَانَةِ فِي لَيْسَ أَنَّهُ
اسْتَعَارَ مَنِ عَلَى الْقَطْعَ قَوْمٌ أَيْضًا وَأَوْجَبَ
- وَالسَّلَامُ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ - النَّبِيِّ عَنِ مَرْوِيٌّ وَذَلِكَ
الْحُلِيَّ، تَسْتَعِيرُ كَانَتْ أَنَّهَا
»الْمَشْهُورِ الْمَخْزُومِيَّةِ الْمَرْأَةِ حَدِيثِ لِمَكَانِ جَحَدَهُ؛ ثُمَّ مَتَاعًا، أَوْ حُلِيًّا - .وَإِسْحَاقُ أَحْمَدُ قَالَ وَبِهِ «جُحُودِهَا لَوْضِعِ قَطَعَهَا - وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللَّهُ صَلَّى اللَّهِ رَسُولَ وَأَنَّ
- النَّبِيُّ فَأَمَرَ وَتَجْحَدُهُ، الْمَتَاعَ تَسْتَعِيرُ مَخْزُومِيَّةٌ امْرَأَةٌ كَانَتِ »:قَالَتْ عَائِشَةَ حَدِيثُ وَالْحَدِيثُ
عَلَيْهِ- النَّبِيَّ أُسَامَةُ فَكَلَّمَ فَكَلَّمُوهُ، أَهْلُهَا أُسَامَةَ فَأَتَى .يَدِهَا بِقَطْعِ - وَالسَّلَامُ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ
مِنْ حَدٍّ فِي تَتَكَلَّمُ أَرَاكَ لَا أُسَامَةُ، يَا -: وَالسَّلَامُ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ - النَّبِيُّ فَقَالَ - وَالسَّلَامُ الصَّلَاةُ
قَبْلَكُمْ كَانَ مَنْ أَهْلَكَ إِنَّمَا ":فَقَالَ خَطِيبًا، - وَالسَّلَامُ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ - النَّبِيُّ قَامَ ثُمَّ! اللَّهِ حُدُودِ
كَانَتْ لَوْ بِيَدِهِ، نَفْسِي وَالَّذِي .قَطَعُوهُ الضَّعِيفُ سَرَقَ وَإِذَا تَرَكُوهُ، الشَّرِيفُ فِيهِمُ سَرَقَ إِذَا أَنَّهُ
. « لَقَطَعْتُهَا مُحَمَّدٍ بِنْتَ فَاطِمَةَ
بِغَيْرِ يَأْخُذْ لَمْ وَأَنهُمَأْمُونٌ، الْمُعَارَ أَنَّ وَذَلِكَ لِلْأُصُولِ، مُخَالِفٌ لِأَنَّهُ الْحَدِيثَ؛ هَذَا الْجُمْهُورُ وَرَدَّ وَيَدُلُّ جَحَدَتْ أَنَّهَا مَعَ سَرَقَتْ أَنَّهَا وَهُوَ حَذْفٌ، الْحَدِيثِ وَفِي:قَالُوا حِرْزٍ، مِنْ يَأْخُذَ أَنْ فَضْلًا إِذْنٍ الشَّرِيفُ فِيهِمُ سَرَقَ إِذَا أَنَّهُ قَبْلَكُمْ كَانَ مَنْ أَهْلَكَ إِنَّمَا »:
وَالسَّلَامُ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ - قَوْلُهُ ذَلِكَ عَلَى : إِنَّ"
:
فِيهِ فَقَالَ بِإِسْنَادِهِ، الزُّهْرِيِّ عَنِ سَعْدٍ بْنُ اللَّيْثُ الْحَدِيثَ هَذَا وَرَوَى: قَالُو .« تَرَكُوه
أَجْمَعُوا وَكَذَلِكَ .وَالسَّرِقَةَ الْجَحْدَ جًميْعًا الْأَمْرَيْنِ فَعَلَتِ أَنَّهَا عَلَى يَدُلُّ وَهَذَا."سَرَقَتْ الْمَخْزُومِيَّةَ
الْخَمْرِ فِي ضَرَبَ يَكُونَ أَنْ إِلَّا قَطْعٌ الْمُغَالِبِ الْمُكَابِرِ عَلَى وَلَا الْغَاصِبِ عَلَى لَيْسَ أَنَّهُ عَلَى
الشَّافِعِيُّ قَالَ وَبِهِ أَثْبَتَ، طَرِيقٍ مِنْ - وَالسَّلَامُ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ - النَّبِيِّ عَنِ عَلِيٍّ عَنْ هَذَا وَرُوِيَ « أَرْبَعِينَ
.
وَاخْتَلَفُوا .الْحُدُودِ سَائِرِ فِي الْأَمْرُ وَكَذَلِكَ يُقِيمُهُ، الْإِمَامَ أَنَّ عَلَى فَاتَّفَقُوا الْحَدَّ هَذَا يُقِيمُ مَنْ وَأَمَّا الْقَذْفِ وَحَدَّ الزِّنَى حَدَّ عَبْدِهِ عَلَى السَّيِّدُ يُقِيمُ :مَالِكٌ فَقَالَ عَبِيدِهِمْ، عَلَى الْحُدُوْد السَّادَاتِ إِقَامَة فى .اللَّيْثُ قَالَ وَبِهِ الْإِمَامُ، إِلَّا السَّرِقَةِ فِي يَقْطَعُ وَلَا.نَفْسِه بِعِلْمِ ذَلِكَ يَفْعَلُ وَلَا الشُّهُودُ، عِنْدَهُ شَهِدَ إِذَا جَمِيعَ عَبْدِهِ عَلَى السَّيِّدُ يُقِيمُ:الشَّافِعِيُّ وَقَالَ الْإِمَامُ، إِلَّا الْعَبِيدِ عَلَى الْحُدُودَ يُقِيمُ لَا:حَنِيفَةَ أَبُو وَقَالَ - اللَّهِ رَسُولَ أَنَّ » الْمَشْهُورُ الْحَدِيثُ مَالِكٍ فَعُمْدَةُ ثَوْرٍ وَأَبِي وَإِسْحَاقَ، أَحْمَدَ قَوْلُ وَهُوَ الْحُدُودِ،
إِنْ ثُمَّ فَاجْلِدُوهَا، زَنَتْ إِنْ:
فَقَالَ تُحْصَنْ، وَلَمْ نَتْ زَ إِذَا الْأَمَةِ عَنِ سُئِلَ - وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللَّهُ صَلَّى
:-وَالسَّلَامُ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ - وَقَوْلُهُ «بِضَفِيرٍ وَلَوْ بِيعُوهَا ثُمَّ فَاجْلِدُوهَا، زَنَتْ إِنْ ثُمَّ فَاجْلِدُوهَا، زَنَتْ اللَّهُ صَلَّى - عَنْهُ رُوِيَ مَا الْأَحَادِيثِ هَذِهِ مَعَ فَاعْتَمَدَ الشَّافِعِيُّ وَأَمَّا فَلْيًجِدْهَا أَحَدِكُمْ أَمَةُ زَنَتْ إِذَا
مَرْوِيٌّ أَيْضًا وَلِأَنَّهُ أَيْمَانُكُمْ مَلَكَتْ مَا عَلَى الْحُدُودَ أَقِيمُوا »:قَالَ أَنَّهُ عَنْهُ حَدِيثٍ مِنْ - وَسَلَّمَ عَلَيْهِ
أَبِي وَعُمْدَةُ .وَأَنَسٌ مَسْعُودٍ، وَابْنُ عُمَرَ ابْنُ مِنْهُمُ لَهُمْ، مُخَالِفَ وَلَا الصَّحَابَةِ، مِنَ جَمَاعَةٍ عَنْ
بِنْوَعُمَرَ الْحَسَنِ عَنِ وَرُوِيَ .السُّلْطَانُ هُوَ الْحُدُودِ إِقَامَةِ فِي الْأَصْلَ أَنَّ عَلَى الْإِجْمَاعُ حَنِيفَةَ .السُّلْطَانِ إِلَى وَالْحُكْمُ وَالْفَيْءُ وَالزَّكَاةُ الْجُمُعَةُ:قَالُوا أَنَّهُمْ وَغَيْرِهِمْ الْعَزِيزِ عَبْدِ
.عَدْلَيْنِ وَبِشَهَادَةِ بِالْإِقْرَارِ يَثْبُتُ أَنَّهُ عَلَى الْعُلَمَاءُ فَاتَّفَقَ ,الْحَدُّ هَذَا يَثْبُتُ بِمَاذَا وَأَمَّا:فَصْلٌ
بِالرَّائِحَةِ الْحَدُّ يَجِبُ:الْحِجَازِ أَهْلِ وَجُمْهُورُ وَأَصْحَابُهُ مَالِكٌ فَقَالَ بِالرَّائِحَةِ ثُبُوتِهِ فِي وَاخْتَلَفُوا
أَهْلِ وَجُمْهُورُ حَنِيفَةَ وَأَبُو الشَّافِعِيُّ، ذَلِكَ فِي وَخَالَفَهُ .عَدْلَانِ شَاهِدَانِ الْحَاكِمِ عِنْدَ بِهَا شَهِدَ إِذَا فَعُمْدَةُ .بِالرَّائِحَةِ الْحَدُّ يَثْبُتُ لَا:فَقَالُوا الْبَصْرَةِ عُلَمَاءِ وَجُمْهُورُ الْحِجَازِ أَهْلِ مِنْ وَطَائِفَةٌ الْعِرَاقِ، يُثْبِتْهَا لَمْ مَنْ وَعُمْدَةُ وَالْخَطِّ، الصَّوْتِ عَلَى بِالشَّهَادَةِ تَشْبِيهُهَا الرَّائِحَةِ عَلَى الشَّهَادَةَ أَجَازَ مَنْ بِالشُّبَهِ يُدْرَأُ وَالْحَدُّ الرَّوَائِحِ، اشْتِبَاهُ
Kitab
pencurian
Yang terlihat dalam kitab ini batasan
pencurian, dan syarat pencurian yang wajib dikenai hukum had, dan dalam sifat
pencurian yang wajib dikenai hukum had, dan dampaknya, dan dalam perkara yang
ditetapkan tentang kejahatan itu. Adapun pencurian adalah merampas/mengambil
harta milik orang lain secara sembunyi dari selain yang bukan diamanatkan
baginya, dan sesungguhnya berbicara kita semua terhadap pencurian ini: karena sesungguhnya mereka sepakat sesungguhnya
pencurian itu tidak termasuk dalam pengkhianatan dan tidak termasuk dalam
penggelapan yang dihukum dengan potong tangan, kecualai Iyas Bin Mu’Awiyah,
sesungguhnya Iyas mewajibkan penggelapan untuk dipotong tangan, dan hal ini
berdasarkan pada riwayat Nabi SAW. dan juga mewajibkan kepada kaum untuk
memotong tangan orang yang memijam permata atau perhiasannya sendiri; ke tempat
wanita yang baru berharta “sesungguhnya wanita itu telah terbukti meminjam
perhiasan, dan Rasul SAW. memotong tangan wanita yang menyangkal tersebut.” Dan
ini di dikatakan oleh Ahmad dan Ishaq.
Dan hadits yang diterima dari Aisyah RA.
Berkata aisyah: terbukti seorang wanita yang memiliki harta meminjamkan
perhiasanya sendiri. Maka nabi memerintahkan untuk memotong tangannya maka
datang usamah kepada keluarga wanita tersebut maka
diceritakanlah oleh usamah. Usamah menceritakan kepada Nabi. Maka berkata Nabi:
“jangan melihat, kamu berbicara dalam batas-batas Tuhan! Kemudian berkata Nabi
SAW. ketika Khutbahnya: “sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian,
sesungguhnya apabila orang terhormat diantara mereka mencuri, maka
membiarkannya/meninggalkannya/tidak menghukumnya, dan apabila mencuri
orang-orang yang lemah maka mereka memotong tangannya. Dan demi dzat yang
diriku ada didalam kekuasaannya, kalau seandainya fathimah binti Muhammad
mencuri maka kami (rasul sendiri) akan memotong tangannya”
Dan menolak jumhur ulama terhadap hadits
ini! Karena hadits tersebut berbeda dengan asalnya, sehingga meminjam itu lebih
dipercaya, dan sesungguhnya meminjam itu tidak mengambil tanpa izin maka lebih
utama dari yang mengambil harta. Mereka berkata: “di dalam hadits di potong,
dan sesungguhnya wanita tersebut mencuri nya sendiri. Dan menunjukan kepadaku
hal tersebut perkataan Rasul SAW. “sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum
kamu adalah karena mereka membiarkan atau tidak menghukum orang terhormat
diantara mereka apabila mereka mencuri”. Mereka berkata: meriwayatkan hadits
ini adalah Abu Laits bin Sa’di dari Zuhriyyi dengan sanadnya, maka berkata di
dalamnya: “sesungguhnya makhzumiyah di curi.” Dan ini menunjukkan kepadaku
sesungguhnya dua urusan sekaligus yakni penyangkalan dan pencurian.”
Dan mereka pun sepakat bahwa hal itu bukan
bagian dari perampasandan dan tidak termasuk kasus besar yang biasa di potong
tangan, kecuali apabila terbukti memukul dengan keadaan tidak sengaja” dan
hadits ini di riwayatkan oleh Ali RA. diterima dari Nabi SAW. dari perjalanan
yang tetap.” Dan dengan hadits tersebut berkata imam Syafi’i adapun orang yang
menegakkan ketentuan ini maka mereka sepakat
bahwa imam syafi’i menegakkan hukum ini, dan begitu pula ia menganjurkan
diluar ketentuan tersebut. Dan Imam Sadat berbeda pendapat dalam menegakkan
hukum ini terhadap hamba sahaya mereka, berkatalah Imam Malik: “menegakkan/menghukum
tuan kepada hamba sahayanya dengan hukum zina dan hukum pencemaran nama baik,
dimana hal tersebut di saksikan oleh beberapa orang saksi, dan itu tidak
dikerjakannya dengan pengetahuannya sendiri. Dan tidak memotong tangan pencuri
kecuali hakim/imam. Dan berkata imam Abu Laits. Dan berkata Imam Abu Hanifah:
tidak ditegakkan hukum hudud kepada hamba sahaya kecuali hakim. Dan berkata
Imam Syafi’i: seorang tuan boleh menegakkan hukum hudud kepada budaknya. Dan
itu adalah yang dikatakan oleh Imam Ahmad dan Ishaq dan Imam Tsauri.
Imam malik menetapkan terhadap hadits masyhur: “sesungguhnya Rasul SAW. ditanya Rasul
tentang Amat/Budak perempuan yang berzinah yang bukan muhson, maka berkata
Nabi: maka rajamlah ia, kemudian berzinah lagi, maka rajamlah. Kemudian
berzinah lagi, maka rajamlah. Kemudian juallah budak itu walau dengan murah.”
Dan Nabi bersabda: “dimana berzina seorang amat di antara kamu maka rajamlah
dia jilidlah dia” dan imam Syafi’i terkait hadits-hadits yang dia darinya, Rasul SAW_ dari hadits Nabi SAW,
sesungguhnya Nabi bersabda: “ tegakan hukum Had kepada hamba sahaya kalian”.
Dan karenanya juga meriwayatkan dari kebanyakan para Sahabat, dan tidak ada
ikhtilaf bagi mereka, yakni Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud, dan Anas. Dan terkait
itu imam Abu Hanifah sepakat terhadap terhadap dasar dalam menegakkan hukum
had yaitu pemerintah. Dan diriwayatkan
dari hasan dan umar bin abdul aziz dan yang lainnya, sesungguhnya mereka
berkata: hukum jum’at, zakat, dan harta faiy dan hukumnya diserahkan kepada pemerintah.
Fashal: maka adapun terhadap sesuatu yang
ditetapkan pada hukum ini, maka sepakat para Ulama bahwa hukuman tersebut bisa
dilakukan dengan bukti dan dua saksi yang adil. Dan berbeda pendapat dalam
menetapkan indikasinya (baunya). Maka berkata Imam Malik dan
sahabat-sabhabatnya para jumhur yang ahli di hijaz: wajib mengurangi hukuman
had, apabila yang menjadi saksi dalam kasus tersebut itu dua saksi yang adil.
Dan iamam Syafi’i berbeda pendapat terhadap
hal tersebut, dan imam Abu Hanifah dan umumnya para ulama iraq dan ulama thoif
dan ulama hijaz, dan umumnya ulama bashroh, dan mereka berkata: “ tidak
ditetapkan hukum hudud terhadap apabila
sekedar indikasi/perkiraan. Batas itu tidak dibuktikan dengan indikasi/sangkaan.
Dua saksi dari sangkaan/dugaan/perdugaan diumpakan pada suara dan tulisan. Dan
menetapkan kepada yang tidak tetapnya dan hal itu tidak bisa dipastikan dengan
sangkaan.
Wallohu a’lam bil muroodhih
PENUTUP
Peulis disini memberikan kesimpulan bahwa, Ibn Rusyd dalam menetapkan sebuah hukum Islâm yakni dalam ilmu fiqih menggunakan
sumber utama hukum islam itu sendiri, yakni Al-Qur’ân dan al-Sunnah
sebagai dasar utama dari hukum islam tersebut, sebagaimana yang beliau jelaskan
mengenai harusnya syari’at islam bersumber pada nash al-Quran dan sunnah
di dalam muqodimah kitabnya yakni Bidayatul Mujtahid. Tetapi Ibn Rusyd juga tidak
membatasi untuk menggunakan sumber lain selain nash tersebut dalam
menentukan hukum islam yang semakin berkembang permasalahannya di zaman
sekarang.
Ibn Rusyd tidak memungkiri bahwa kedua nash yang
merupakan sumber tersebut yakni Al-Qur’ân dan al-Sunnah itu
sangat terbatas untuk permasalahan yang lebih kompleks yang sekarang muncul
sepeninggal Rasul dan masa setelahnya, oleh karena itu maka Ibn Rusyd dalam pengambilan
hukum atau istinbathul ahkam yang kental terlihat dalam kitab Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid ini
memberikan solusi lain yakni juga mempergunakan ijtihâd sebagai metode alternatif untuk
memecahkan problematika hukum syari’at yang semakin ke sini terus
menerus berkembang. Dalam memecahkan permasalahan hukum syari’at tersebut
yang semakin kompleks Ibn
Rusyd
banyak menggunakan qiyâs (analogy/ perumpamaan) terhadap hukum yang
telah ada ketentuanpenjelasan hukumnya.
Masalah-masalah syar’i yang tidak bisa dijumpai dalam al-Qur’ân dan
Sunnah diputuskan dengan menganalogikan atau disamakan dengan hukum-hukum
yang sudah ada ketentuannya dalam kedua sumber pokok ajaran Islâm yaitu al-Qur’ân dan al-Sunnah itu sendiri. Penggunaan ijmâ’ (konsensus) bagi Ibn Rusyd mungkin hanya bisa terjadi dan diterima pada masa sahabat. Mengapa
demikian? Karena dengan berkembangnya ajaran Islâm dan semakin luasnya wilayah
Islâm sangat sulit terjadi kata mufakat (kesepakatan) bagi semua mujtahid
yang hidup pada masa tersebut, yang mana mufakat diantara mujtahid itu sendiri
merupakan syarat diterima dan dijadikannya ijma’ atau kesepakatan
diantara ulama. Namun baginya, bukan berarti ijma itu sudah tak menjadi
metode pengambilan hukum dalam hukum islam, tetapi menurut Ibn Rusyd yang bisa
terjadi dalam ijmâ’ hanyalah kesepakatan dalam masalah-masalah ‘amaliyah
dan bukan masalah teoritis.
[2] Usman Iskandar, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam,(Jakarta: PT. Raja
Grafindo Perkasa, 1994), hlm. 113
[3] Muhammad bin Muhammad AbûHâmid
al-Ghazâlî, Al-Mustashfa fî ’Ilm al-Ushûl,(Kairo: Al-Matba’ah al-Amîriyah, 1324
H), hlm. 242.
[4] Ahmad Hasan, The
Early Development of Islamic Jurisprudence, (New Delhi: Adam Publisher &
distributor, 1994), hlm. 137.
[5] Muhammad Roy, Ushul Fiqih Madzhab
Aristoteles, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004),hlm. 7.
[7] Umdah El-Baroroh, Tadarus
Ramadan JIL Seri III Fiqh Ibnu Rusyd: Antara Konservatisme dan Liberalisme,
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=931, diakses tanggal 24
Oktober 2010.
[10] Muhammad
AbûZahrah, Ushul Fiqih, terj. Saefullah Ma’shum et.al, cet. IX, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 340.
0 comments:
Post a Comment