Pages

Thursday, May 23, 2019

MAKALAH KITAB AL-UMM




MAKALAH
KITAB AL-UMM
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Membahas Kitab Ushul Fiqh
 Diampu Oleh : Drs.H Dadang Syarifudin, MA.

https://image.psikolif.com/wp-content/uploads/2018/11/Logo-UIN-Bandung-Original-PNG-Terbaru.png


Disusun Oleh :
Resma Wulandari       1163040074

JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2019







KATA PENGANTAR

Segala puji bagi allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat menyelasaikan makalah ini. Tanpa pertolongannya mungkin penyusun tidak sanggup menyelesaikannya dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman tentang judul pemakalah yang sedang dibicarakan, yang sangat diperlukan dalam suatu harapan mendapatkan keamanan dalam memahami hukum yang berlaku.
Kami menyadari dalam proses penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna serta banyak kekurangan-kekurangan, baik dari segi tata bahasa maupun yang lainnya. Harapan yang paling besar dari penyusunan ini adalah mudah-mudahan apa yang kami susun ini penuh manfaat. Baik untuk pribadi maupun untuk secara umum.
Bandung,11 Mei 2019



Pemakalah




DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
2.      Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
1.    Biografi Imam Syafi’I
2.    Isi ,Sistematika Dan Metode Kitab Al-Umm
3.    Kedudukan Dan Pengaruh Kitab Al-Umm
4.    Contoh Pembahasan
BAB III PENUTUP
1.      Kesimpulan
2.      Kritik Dan Saran
DAFTAR PUSTAKA



BAB I

PENDAHULUAN

1.                   LATAR BELAKANG

Mayoritas kaum muslimin di Indonesia secara turun temurun mengamalkan madzhab Syafi'i. Demikian juga pesantren-pesantrennya, kitab-kitab yang dijadikan sebagai diktat pengajian adalah kitab-kitab matan, syarah, dan hasyiyah dalam madzhab Syafi'i. Akan tetapi dari semua kitab-kitab itu hampir tidak ada satu pun kitab yang merupakan karya langsung sang pendiri madzhab; Al Umm. Al-Umm (الأم) adalah kitab yang ditulis Asy-Syafi’i dan menjadi kitab fikih paling populer yang dinisbatkan kepada beliau. Kitab ini adalah cerminan fase akhir dari kematangan ijtihad Asy-Syafi’i setelah “berpetualang” mencari ilmu, menggali, berdebat, berdiskusi, dan merenung di Hijaz, Irak dan Mesir. Kitab ini juga menjadi kitab Asy-Syafi’i yang paling terakhir ditulis. Bisa dikatakan Al-Umm juga mencerminkan madzhab jadid Asy-Syafi’i.
Mengapa sebagai penganut madzhab, tidak ada yang mengkaji kitab pendirinya ? Dan justru disinyalir ada ajaran sang pendiri dalam Al Umm yang ditinggalkan para penganutnya. Masih absahkah klaim kesyafi'iyyan yang demikian ?  Pertanyaan-pertanyaan ini wajar saja muncul dari sebagian orang. Mereka belum mengenal Al Umm dan juga Madzhab Syafi'i.  Maka dari itu, makalah ini akan membahas lebih lanjut mengenai Imam Syafi’I dan kitab yang ditulisnya yaitu Al-Umm.


2.         RUMUSAN MASALAH 
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan perrmaslahan sebagai berikut :
1.      Bagaimana biografi dari Imam Syafi’i?
2.      Apa itu kitab Al-Umm dan bagaimana sistematika kitab tersebut ?
3.      Seberapa besar kedudukan atau oengaruh kitab Al-Umm ?
4.      Apa saja contoh pembahasan yang ada dalam kitab Al-Umm




BAB II
PEMBAHASAN
1.      BIOGRAFI IMAM SYAFI’I
a.      Nama dan garis keturunan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Nama Al-Imam Asy-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris. Beliau berasal dari Kabilah Quraisy yang terhormat (Al-Qurasyi), tepatnya dari Bani Al-Muththalib (Al-Muththalibi) dan dari anak cucu Syafi’ bin As-Saib (Asy-Syafi’i). Adapun ibu beliau adalah seorang wanita mulia dari Kabilah Azd (salah satu kabilah negeri Yaman). Kunyah beliau Abu Abdillah, sedangkan laqab (julukan) beliau Nashirul Hadits (pembela hadits NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam). Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abdu Manaf bin Qushay, sebagaimana dalam silsilah garis keturunan beliau berikut ini: Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al-Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’d bin Adnan. (Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu, 1/76, 472, Siyar A’lamin Nubala’karya Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu, 10/5-6, dan Tahdzibul Asma’ wal Lughatkarya Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, 1/44)
b.      Kelahiran dan masa tumbuh kembang Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Para sejarawan Islam sepakat bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H. Di tahun yang sama, Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Al-Kufirahimahullahu meninggal dunia. Adapun tempat kelahiran beliau, ada tiga versi: Gaza, Asqalan, atau Yaman. Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu dalam Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris (hal. 51-52), tidak ada pertentangan antara tiga versi tersebut, karena Asqalan adalah nama sebuah kota di mana terdapat Desa Gaza. Sedangkan versi ketiga bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di Yaman, menurut Al-Imam Al-Baihaqi, bukanlah negeri Yaman yang dimaksud, akan tetapi tempat yang didiami oleh sebagian kabilah Yaman, dan Desa Gaza termasuk salah satu darinya. (LihatManhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah karya Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Aqil, 1/21-22, dan Manaqib Asy-Syafi’i, 1/74)
Dengan demikian tiga versi tersebut dapat dikompromikan, yaitu Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di Desa Gaza, Kota ‘Asqalan (sekarang masuk wilayah Palestina) yang ketika itu didiami oleh sebagian kabilah Yaman. Asy-Syafi’i kecil tumbuh dan berkembang tanpa belaian kasih seorang ayah alias yatim. Walau demikian, keberadaan sang ibu yang tulus dan penuh kasih sayang benar-benar menumbuhkan ketegaran pada jiwa beliau untuk menyongsong hidup mulia dan bermartabat. Pada usia dua tahun sang ibu membawa Asy-Syafi’i kecil ke bumi Hijaz.[1] Di Hijaz, Asy-Syafi’i kecil hidup di tengah-tengah keluarga ibunya (keluarga Yaman). Di sana pula Asy-Syafi’i kecil belajar Al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama, sehingga pada usia tujuh tahun beliau telah berhasil menghafalkan Al-Qur’an dengan sempurna (30 juz).
Kecerdasan adalah anugerah dan karunia Allah yang diberikan kepada hambanya sebagai nikmat yang sangat besar. Di antara hal-hal yang menunjukkan kecerdasannya: Kemampuannya menghafal Al-Qur’an di luar kepala pada usianya yang masih belia, tujuh tahun, Cepatnya menghafal kitab Hadits Al Muwathta’ karya Imam Darul Hijrah, Imam Malik bin Anas pada usia sepuluh tahun, Rekomendasi para ulama sezamannya atas kecerdasannya, hingga ada yang mengatakan bahwa ia belum pernah melihat manusia yang lebih cerdas dari Imam Asy-Syafi`i.,Beliau diberi wewenang berfatawa pada umur 15 tahun.
Saat memasuki usia sepuluh tahun, sang ibu khawatir bila nasab mulia anaknya pudar. Maka dibawalah si anak menuju Makkah agar menapak kehidupan di tengah-tengah keluarga ayahnya dari Kabilah Quraisy. Kegemaran beliau pun tertuju pada dua hal: memanah dan menuntut ilmu. Dalam hal memanah beliau sangat giat berlatih, hingga dari sepuluh sasaran bidik, sembilan atau bahkan semuanya dapat dibidiknya dengan baik. Tak ayal bila kemudian unggul atas kawan-kawan sebayanya. Dalam hal menuntut ilmu pun tak kalah giatnya, sampai-sampai salah seorang dari kerabat ayahnya mengatakan: “Janganlah engkau terburu menuntut ilmu, sibukkanlah dirimu dengan hal-hal yang bermanfaat (bekerja)!” Namun kata-kata tersebut tak berpengaruh sedikitpun pada diri Asy-Syafi’i. Bahkan kelezatan hidup beliau justru didapat pada ilmu dan menuntut ilmu, hingga akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kepada beliau ilmu yang luas. (Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris hal. 51-52, Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah, 1/22-23)
c.       Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam menuntut ilmu
Di Kota Makkah dengan segala panorama khasnya, Asy-Syafi’i kecil mulai mendalami ilmu nahwu, sastra Arab, dan sejarah. Keinginan beliau untuk menguasainya pun demikian kuat. Sehingga setelah memasuki usia baligh dan siap untuk berkelana menuntut ilmu, bulatlah tekad beliau untuk menimba ilmu bahasa Arab dari sumbernya yang murni. Pilihan pun jatuh pada Suku Hudzail yang berada di perkampungan badui pinggiran Kota Makkah, mengingat Suku Hudzail -saat itu- adalah suku Arab yang paling fasih dalam berbahasa Arab. Dengan misi mulia tersebut Asy-Syafi’i seringkali tinggal bersama Suku Hudzail di perkampungan badui mereka. Aktivitas ini pun berlangsung cukup lama. Sebagian riwayat menyebutkan sepuluh tahun dan sebagian lainnya menyebutkan dua puluh tahun. Tak heran bila di kemudian hari Asy-Syafi’i menjadi rujukan dalam bahasa Arab. Sebagaimana pengakuan para pakar bahasa Arab di masanya, semisal Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri (pakar bahasa Arab di Mesir), Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i (pakar bahasa Arab di Irak), Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi (sastrawan ulung di masanya), dan yang lainnya.[2] (Lihat Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris hal. 53, Al-Bidayah wan Nihayah karya Al-Hafizh Ibnu Katsirrahimahullahu, 10/263, Manaqib Asy-Syafi’i 1/102)
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada Al-Imam Asy-Syafi’i kecintaan pada fiqh (mendalami ilmu agama). Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi menerangkan bahwa kecintaan Al-Imam Asy-Syafi’i pada fiqh bermula dari sindiran sekretaris ayah Mush’ab. Kisahnya, pada suatu hari Al-Imam Asy-Syafi’i sedang menaiki hewan tunggangannya sembari melantunkan bait-bait syair. Maka berkatalah sekretaris ayah Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi kepada beliau: “Orang seperti engkau tak pantas berperilaku demikian. Di manakah engkau dari fiqh?” Kata-kata tersebut benar-benar mengena pada jiwa Al-Imam Asy-Syafi’i, hingga akhirnya bertekad untuk mendalami ilmu agama kepada Muslim bin Khalid Az-Zanji -saat itu sebagai Mufti Makkah- kemudian kepada Al-Imam Malik bin Anas di Kota Madinah. (Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/96). Upaya menimba berbagai disiplin ilmu agama ditempuhnya dengan penuh kesungguhan. Dari satu ulama menuju ulama lainnya dan dari satu negeri menuju negeri lainnya; Makkah-Madinah-Yaman-Baghdad. Di daerahnya (Makkah), Al-Imam Asy-Syafi’i menimba ilmu dari Muslim bin Khalid Az-Zanji, Dawud bin Abdurrahman Al-Aththar, Muhammad bin Ali bin Syafi’, Sufyan bin Uyainah, Abdurrahman bin Abu Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Iyadh, dan yang lainnya.
Pada usia dua puluh sekian tahun -dalam kondisi telah layak berfatwa dan pantas menjadi seorang imam dalam agama ini- Al-Imam Asy-Syafi’i berkelana menuju Kota Madinah guna menimba ilmu dari para ulama Madinah: Al-Imam Malik bin Anas, Ibrahim bin Abu Yahya Al-Aslami, Abdul Aziz Ad-Darawardi, Aththaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d, dan yang semisal dengan mereka. Kemudian ke negeri Yaman, menimba ilmu dari para ulamanya: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadhi, dan yang lainnya. Demikian pula di Baghdad, beliau menimba ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani ahli fiqh negeri Irak, Ismail bin ‘Ulayyah, Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi, dan yang lainnya. (Diringkas dari Siyar A’lamin Nubala’, 10/6, 7, dan 12)
Beliau mengawali mengambil ilmu dari ulama-ulama yang berada di negerinya, di antara mereka adalah: Muslim bin Khalid Az-Zanji mufti Makkah, Muhammad bin Syafi’ paman beliau sendiri,  Abbas kakeknya Imam Asy-Syafi`I, Sufyan bin Uyainah,  Fudhail bin Iyadl, serta beberapa ulama yang lain. Demikian juga beliau mengambil ilmu dari ulama-ulama Madinah di antara mereka adalah: Malik bin Anas,Ibrahim bin Abu Yahya Al Aslamy Al Madany,Abdul Aziz Ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far dan Ibrahim bin Sa’ad serta para ulama yang berada pada tingkatannya.Beliau juga mengambil ilmu dari ulama-ulama negeri Yaman di antaranya; Mutharrif bin Mazin,Hisyam bin Yusuf Al Qadhi, dan sejumlah ulama lainnya. Dan di Baghdad beliau mengambil ilmu dari: .Muhammad bin Al Hasan, ulamanya bangsa Irak, beliau bermulazamah bersama ulama tersebut, dan mengambil darinya ilmu yang banyak,Ismail bin Ulayah.,Abdulwahab Ats-Tsaqafy, serta yang lainnya.
Beliau mempunyai banyak murid, yang umumnya menjadi tokoh dan pembesar ulama dan Imam umat islam, yang paling menonjol adalah: Ahmad bin Hanbal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli Fiqih dan Imam Ahlus Sunnah dengan kesepakatan kaum muslimin,Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani,Ishaq bin Rahawaih, Harmalah bin Yahya,Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi, Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi dan lain-lainnya banyak sekali.
2.      ISI, SISTEMATIKA DAN METODE KITAB AL-UMM
Adapun isi, sistematika, dan metode yang digunakan Imam Syafi’i dalam menguraika keterangan-keterangannya, Imam Syafi’i terkadang memakai metode tanya jawab, dalam arti menguraikan pendapat pihak lain yang diadukan sebagai sebuah pertanyaan, kemudian ditanggapinya dalam bentuk jawaban. Pada kesempatan lain Imam al-Syafi’i menggunakan metode eksplanasi dalam arti menguraikan secara panjang lebar suatu masalah dengan memberikan penetapan hukumnya berdasarkan prinsip-prinsip yang dianutnya tanpa ada sebuah pertanyaan.
Adapun mengenai sistematikanya, kitab ini diringkas agar memudahkan para pembaca tentang gambaran fiqih metodologi imam al-Syafi’i pembahasan-pembahasan tersebut diringkas menjadi 3 jilid lengkap, diantaranya :
Jilid 1    : Biografi Imam al-Syafi’i, Pembahasan tentang Bersuci (thaharah), Haid, Shalat, Shalat Idul Fitri dan Idul Adha, Jenazah, Zakat,Pembagian Zakat, Sederhana Puasa, I;Tikaf, Haji, Penyembelihan Kurban, Hewan Buruan, dan Sembelihan, Makanan dan Keterangan Tentang Halal Haramnya, Nadzar, Berhubungan Dengan Hewan Kurban dan Nadzar.
Jilid 2    : Pembahasan tentang Jual Beli, Gadai, Suf’ah (hak membeli lebih dulu), Hibah, Luqathah (barang temuan), al-Laqith, Fara’id (pembagian warisan), Wasiat, Jizyah, Kitab memerangi pemberontak (Ahlu Baghyi dan orang-orang murtad), Perlombaan dan Memanah, Hukum memerangi musyrikin dan masalah harta kafir Harbi, Nikah, Mahar, Syighar, Nafkah, Luka-luka yang disengaja, Hudud dan sifat pengasingan, Peradilan dan Hakim.
Jilid 3    : Perbedaan pandangan Ali dan Abdullah bin mas’ud radhiallahu’anhum-Pembahasan tentang perbedaan pendapat Malik dan Syafi’i rahimahumullah-pembahasan tentang pembebasan budak, rangkuman ilmu, Sifat larangan rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, Pembahasan tentang membatalkan, Istihsan (menganggap baik sesuatu), Pembahasan tentang bantahan terhadap Muhammmad bin Al-Hasan, Pembahasan tentang siyar (sejarah) Al-Auza’i, Pembahasan tentang Undian, Pembahasan tentang hukum-hukum Tadbir (menjanjikan kemerdekaan bagi budak setelah majikan meninggal dunia), Pembagian tentang Al-Mukatab.
Dalam format kitab al-Umm yang dapat ditemui pada masa sekarang terdapat kitab-kitab lain yang juga dibukukan dalam satu kitab al-Umm diantaranya adalah :
1.            Al-Musnad, berisi sanad Imam Syafi’i dalam meriwayatkan hadits-hadits Nabi dan juga untuk mengetahui ulama-ulama yang menjadi guru imam asy-Syafi’i.
2.            Khilafu Malik, berisi bantahan-bantahannya terhadap Imam Malik gurunya.
3.             Al-Radd ‘Ala Muhammad Ibn Hasan, berisi pembelaannya terhadap mazhab ulama Madinah dari serangan Imam Muhammad Ibn Hasan, Murid Abu Hanifah.
4.             Al-Khilafu Ali wa Ibn Mas’ud, yaitu kitab yang memuat pendapat yang berbeda antara pendapat Abu Hanifah dan Ulama Irak dengan Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud
5.             Sair al-Auza’i, berisi pembelaannya atas imam al-Auza’i dari serangan Imam Abu Yusuf.
6.             Ikhtilaf al-Hadits, berisi keterangan dan penjelasan asy-Syafi’i atas hadits-hadits yang tampak bertentangan, namun kitab ini juga ada yang dicetak tersendiri.
7.            Jima’ al-Ilmi’, berisi pembelaan imam asy-Syafi’i terhadap Sunnah Nabi SAW.
3.      KEDUDUKAN KITAB AL-UMM
Seluruh madzhab-madzhab fiqih dalam Islam sepakat bahwa Al Qur`an dan Sunnah merupakan rujukan dalam pengambilan istimbath atau kesimpulan hukum, disamping ada ijma’ dan qiyas yang digunaan oleh madzhab empat yang mu’tabar. Dalam madzhab pula tidak hanya fuqaha’, mufassir dan muhaddits pun ikut serta dalam memberikan kontribusi dalam membangun madzhab. Dan dalam faktanya, para ulama mufassir dan muhaddits juga bermadzhab (baca, Ahlul Hadits “Ahlul Madzhab”) Dengan demikian, dalil, baik Al Qur`an dan As Sunnah sudah menjadi kajian ulama madzhab sejak lama dan berkesinambungan sedangkan mereka adalah orang-orang yang memiliki otoritas di bidangnya hingga madzhab akhirnya terbangun kokoh di atas dalil-dalilnya. Dan hasilnya, masing-masing madzhab memiliki produk yang berupa kitab-kitab yang menunjukkan dalil-dalil dari Al Quran dan As Sunnah yang menjadi pijakan  dalam madzhab
Sejak mulai dari imam madzhab, kitab fiqih yang ditulis menyertakan dalilnya. Dalam hal ini, Al Umm karya Imam Asy Syafi’i, meski merupakan hasil ijtihad fiqih, namun disertakan di dalamnya dalil-dalil, baik Al Qur`an maupun Hadits serta dalil-dalil lainnya. Sedangkan hadits-hadits dan atsar yang tercantum merupakan periwayatan langsung Imam As Syafi’i yang bersambung hingga sahabat dan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, hingga Syeikh Muhammad bin Jakfar Al Kattani menyebutnya dalam jajaran kitab-kitab hadits dalam Ar Risalah Al Mustatharrifah.
Kitab Al-Umm adalah kitab utama dan menjadi teras utama madzhab syafi’i kerana dalam kitab tersebut dapat dikatakan semua penulisan dalam mazhab al-Syafi’-‘i berasal daripada kitab ini.  Kitab al-Umm dari satu sudut merupakan kitab fiqh terbesar dan tiada tandingan pada masanya. Kitab ini membahas berbagai persoalan lengkap dengan dalil-dalilnya, baik dari al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Isi kitab ini adalah sebagai bukti keluasan ilmu al-Syafi’i dalam bidang fiqh. Sedangkan dari sudut yang lain, ia juga dianggap sebagai kitab hadits kerana dalil-dalil hadits yang ia kemukakan menggunakan jalur periwayatan tersendiri sebagaimana layaknya kitab-kitab hadits. Hingga saat ini, kitab al-umm berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari terutama madzhab syafi’I karena kitab ini menjadi rujukan permasaahan madzhab syafi’I dalam fiqh.
4.      CONTOH PEMBAHASAN
Dalam jilid 3 ada salah satu bab yang membahas tentang kelebihan bagian zakat kepada orang-orang yang berhak zakat yang membahas sebagai berikut :
Apabila ditinggal lagi dari orang yang berhak zakat selain satu jenis, maka dibagikan zakat itu seluruhnya pada jenis tersebut. Sehingga merejka merasa cukup. Apabila berlebihan dari yang kecukupan bagi mereka, maka zakat itu dipindahkan kepada penduduk negeri yang terdekat dengan mereka. Apabila bersamaan pada kedekatan antara orang-orang yang sebangsa dengan mereka dan orang-orang asing, maka zakat itu dibagiakan kepada orang-orang sebangsa, tidak kepada asing. Kalau orang-orang asing itu lebih berdekatan kampong dengan mereka dan penduduk yang sebangsa itujauh, atas perjalanan yang dapat diqasharkan shalat. Karena mereka itu lebih utama, dengan nama ; dihadapan merela. Dan orang yang lebih utama dengan bertetangga dengan mereka.[1]
Kemudian membahas tentang bersuci (thaharah) : Imām Syāfi‘ī berkata: Allah s.w.t. berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu…..” (al-Mā’idah [5]: 6). Imām Syāfi‘ī berkata: Allah s.w.t. yang Maha Suci dan Maha Tinggi, Dialah yang mencitptakan air bagi makhluk-Nya, manusia tidak memiliki kemampuan sedikitpun dalam penciptaannya. Dia telah menyebutkan air secara umum, maka di dalamnya termasuk juga air hujan, air sungai, air sumur, air yang keluar dari celah-celah bukit, air laut, baik yang asin maupun yang tawar. Semua jenis air itu dapat dipergunakan untuk bersuci bagi yang hendak berwudhu’ atau mandi. Makna lahir dari ayat di atas mengisyaratkan bahwa semua jenis air adalah suci, baik air laut maupun air yang lain. Imām Syāfi‘ī berkata: Telah diriwayatkan dari Abū Hurairah, bahwa seseorang bertanya kepada Nabi s.a.w.: “Wahai Rasūlullāh, kami pernah berlayar, sementara kami hanya memiliki sedikit persediaan air. Apabila kami berwudhu’ dengannya, kami akan kehausan, maka apakah kami boleh berwudhu’ dengan air laut?” Nabi s.a.w. menjawab:





[1] Shafei Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Othman bin Shafii bin Abdul Muttalib bin Abdul Manaf Al-Mutlaibi Al-Qurashibi Makki, Al-Umm (Beirut: Dar Al Maarefa, 1990).


 

BAB III
PENUTUP
                  1.    KESIMPULAN
a.       Nama Al-Imam Asy-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris. Beliau berasal dari Kabilah Quraisy yang terhormat (Al-Qurasyi), tepatnya dari Bani Al-Muththalib (Al-Muththalibi) dan dari anak cucu Syafi’ bin As-Saib (Asy-Syafi’i). Adapun
b.      Adapun isi, sistematika, dan metode yang digunakan Imam Syafi’i dalam menguraika keterangan-keterangannya, Imam Syafi’i terkadang memakai metode tanya jawab, dalam arti menguraikan pendapat pihak lain yang diadukan sebagai sebuah pertanyaan, kemudian ditanggapinya dalam bentuk jawaban. Pada kesempatan lain Imam al-Syafi’i menggunakan metode eksplanasi dalam arti menguraikan secara panjang lebar suatu masalah dengan memberikan penetapan hukumnya berdasarkan prinsip-prinsip yang dianutnya tanpa ada sebuah pertanyaan.
c.       Kitab Al-Umm adalah kitab utama dan menjadi teras utama madzhab syafi’i kerana dalam kitab tersebut dapat dikatakan semua penulisan dalam mazhab al-Syafi’-‘i berasal daripada kitab ini.  Kitab al-Umm dari satu sudut merupakan kitab fiqh terbesar dan tiada tandingan pada masanya. Kitab ini membahas berbagai persoalan lengkap dengan dalil-dalilnya, baik dari al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
d.      Contoh pembahasan dalam kitab Al-Umm dalam jilid tiga dijelaskan tentang kelebihan zakat kepada orang-orang yang berzakat

2               2.     KRITIK DAN SARAN
                Penulis sadari banyak sekali kesalahan dalam segi penulisan maupun isi materi yang disampaikan. Oleh karena itu penulis memohon koreksi terhadap penyusunan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
Shafei Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Othman bin Shafii bin Abdul Muttalib bin Abdul Manaf Al-Mutlaibi Al-Qurashibi Makki, Al-Umm (Beirut: Dar Al Maarefa, 1990)
 

0 comments:

Post a Comment