PMH B VI
Membahas kitab fiqih
A.
Biografi pengarang kitab
Ibn Hazm lahir pada hari terakhir bulan Ramadhan tahun 384 H/
994 M di Manta Lisyam (Cordoba) ( Abd al-Latif Syararah, Ibn
Hazm Raid al-Fikr al-Ilmi, t.k : Al-Maktab at-Tijari, t.t., hal. 35.)
Nama lengkap beliau adalah Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa'ad bin Hazm bin
Galib bin Salih bin Sofyan bin Yazid. Ibn Hazm merupakan
keturunan Persia. Kakeknya, Yazid berkebangsaan Persia, Maula Yasib bin Abi
Sufyan al-Umawi. (Ibid., hal. 36.)
Ayahnya, Ahmad bin Sa'id, termasuk
golongan orang cerdas yang memperoleh kemuliaan di bidang ilmu dan kebudayaan.
Karena kecerdasannya itulah, ia merasa heran terhadap orang yang kacau dalam
perkataannya, ia berkata "Sungguh saya heran terhadap orang yang kacau
balau dalam khithabah (pidato)-nya, atau tidak tepat dalam penulisannya.
Karenanya, jika orang tersebut ragu dalam sesuatu, ia harus meninggalkannya dan
berpindah pada hal yang tidak meragukannya, karena sesungguhnya kalam
lebih luas daripada ini. (Al-Hamidi, Jazhwah
al-Muqtabis, Dar al-Qawmiyyah, 1966, hal. 126.)
Kehidupan keluarga Ibn Hazm yang berbahagia dan berkecukupan ini tidak berlangsung lama. Sebab ketika itu ayahnya sebagai salah seorang menteri pada akhir pemerintahan umayyah yang pertama di Andalus. Bencana tak menimpanya ketika terjadinya pergantian penguasa. Sebagai seorang pemangku kekuasaan khalifah Umawiyah, Hisyam, Abu Mansur al-Amiri telah bertindak sedemikian jauh. Khalifah tidak lebih dari sebuah boneka belaka. Karena itu, tidak aneh bila di sana-sini sering terjadi pemberontakan, yang dimulai sejak tahun 398 H hingga waktu yang tidak ditentukan. Para pemberontak menyerang, merampok dan mengobrak-abrik Cordoba barat. Akibatnya, terjadi pengungsian besar-besaran. Keluarga Ibn Hazm terpaksa mengungsi kediaman lamanya di Cordoba timur tempatnya desa Bilat Magis pada tahun 399 H. Dalam kondisi yang tidak menentu inilah Ahmad ayah Ibn Hazm dipanggil ke hadirat Alloh SWT pada tahun 402 H.( Abu Zahrah, Ibn Hazm, hlm. 29-30.)
Kehidupan keluarga Ibn Hazm yang berbahagia dan berkecukupan ini tidak berlangsung lama. Sebab ketika itu ayahnya sebagai salah seorang menteri pada akhir pemerintahan umayyah yang pertama di Andalus. Bencana tak menimpanya ketika terjadinya pergantian penguasa. Sebagai seorang pemangku kekuasaan khalifah Umawiyah, Hisyam, Abu Mansur al-Amiri telah bertindak sedemikian jauh. Khalifah tidak lebih dari sebuah boneka belaka. Karena itu, tidak aneh bila di sana-sini sering terjadi pemberontakan, yang dimulai sejak tahun 398 H hingga waktu yang tidak ditentukan. Para pemberontak menyerang, merampok dan mengobrak-abrik Cordoba barat. Akibatnya, terjadi pengungsian besar-besaran. Keluarga Ibn Hazm terpaksa mengungsi kediaman lamanya di Cordoba timur tempatnya desa Bilat Magis pada tahun 399 H. Dalam kondisi yang tidak menentu inilah Ahmad ayah Ibn Hazm dipanggil ke hadirat Alloh SWT pada tahun 402 H.( Abu Zahrah, Ibn Hazm, hlm. 29-30.)
B.
Metode Penulisan Kitab
Kitab Al-Muhalla adalah sebuah kitab
hukum fikih yang disusun oleh Ibnu Hazm, ulama Sunni dari abad ke-11 masehi.[1] Kitab
ini termasuk di antara salahsatu sumber rujukan utama dari Mazhab Zhahiri (Literalis).[2] Kitab
ini merupakan kitab standar yang digunakan dalam pendidikan hukum pada masa
Kekhilafahan dinasti Muwahhidun.[3]
Pada masa kini, kitab ini tetap dijadikan acuan pelajaran
misalnya seperti oleh ulama Pakistan Badi' ud-Din Syah al-Rasyidi yang
mengajarkannya di Masjidil Haram, di Mekkah dan oleh Ulama Yaman Muqbil
bin Hadi al-Wadi'i yang mengajarkannya di Masjid Nabawi di Madinah. Gerakan
Ahl al-Hadith di India dan Pakistan juga kerap menggunakan kitab ini sebagai
bahan ajar.
Izzuddin bin Abdussalam menyatakan: " Aku tidak
melihat dari berbagai kitab-kitab ilmu dalam Islam yang seperti kitab
Al-Muhalla milik Ibnu Hazm atau Al-Mughni milik Syaikh Muwafaquddin Ibnu
Qudamah al-Maqdisi." Imam Dzahabi berkata: "Syaikh Izzuddin telah benar, dan yang
ketiganya adalah Al-Sunan al-Kubra milik Al-Baihaqi, yang
keempat At-Tamhid milik Ibnu Abdil Barr. Barangsiapa mempelajari kitab-kitab ini, (apalagi) jika
ia adalah seorang mufti yang cerdas dan gigih dalam mempelajarinya, maka ia
sungguh-sungguh orang yang berilmu."[4]
Kitab ini mengandung hadits-hadits dari "Musnad Baqiy
bin Makhlad" yang sudah hilang. Bisa dikatakan, sejumlah kitab hadits yang
hilang-hilang keberadaannya, beberapa masih dapat ditemukan di kitab ini.
C. Pengaruh kitab terhadap masyarakat
Pada dasamya hukum diciptakan untuk: memelihara
ketertiban dan kesejahteraan masyarakat, sementara masyarakat senantiasa
mengalarni perubahan. Untuk itu, pelaksanaan hukum harus disesuaikan dengan
keadaan yang ada. Artinya, asas dan prinsip hukum tidaklah berubah, tapi cara
penerapannya harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat, perubahan
suasana, dan perubahan keperluan hidup. Singkatnya, penerapan hukum harus mampu
menegakkan kemashlahatan dan keadilan yang menjadi tujuan dari hukurn itu
sendiri. Secara sosiologis, perubahan hukum memiliki pengaruh yang timbal balik
terhadap perubahan masyarakat. Perubahan hukum dapat mempengaruhi perubahan
dalam masyarakat, dan sebaliknya perubahan masyarakat dapat menyebabkan
terjadinya perubahan hukum. Dalam wacana hukum Islam, perubahan ini digambarkan
kemungkinannya oleh sebuah kaidah fiqih yang menjelaskan, bahwa perubahan hukum
dapat terjadi karena perubahan tempat, waktu dan keadaan. Dengar, demikian kaidah
ini telah memberikan landasan sosiologis bagi berkembangnya hukum Islam (fiqih
Islam sebagai produk ijtihad) dalam mengantisipasi perubahan dan perkembangan
masyarakat. Pada dasamya, perkembangan dinamika hukurn Islam karena dilatar belakangi
oleh berbagai faktor, di antaranya adalah: perbedaan metode istinba. hukum yang
digunakan oleh para Imam, tingkat pemahaman terhadap suatu nash, lokasi,
situasi dan kondisi, waktu (masa) serta tempat tinggal para ahli hukum
(mujtahid) yang berbeda-beda, kebiasaan adat istiadat masyarakat setempat yang
telah lama berakar urat, dan lain-lain. Selain itu, wilayah kekuasaan wnat
Islam yang semalcin luas mengharuskan huk:wn Islam bersifat dinamis dan
fleksibel dalam merespon tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang memang berbeda
antara wilayah yang satu dengan wilayah lainnya.
D. Pembahasan kitab al-muhalla
a. Hukum Menfasakh
Nikah Karena Cacat
Perkawinan
adalah Sunnatullah, hukum alam di dunia. Perkawinan tidak hanya dilakukan oleh
manusia, tetapi juga dilakukan oleh hewan dan tumbuhan. Manusia sebagai makhluk
yang telah dimuliakan oleh Allah dibandingkan makhluk- makhluk yang lain telah
diberikan seperangkat aturan yaitu Al-Quran dan Hadist yang mengatur seluruh
aspek kehidupan termasuk hukum-hukum tentang perkawinan. Syariat Islam
diturunkan kepermukaan bumi mempunyai dua peringkat tujuan yaitu tujuan utama
(al-maqasit al-asliyah) dan tujuan pendukung (al-maqasid attabiyah). Dalam
perkawinan yang menjadi tujuan utama adalah untuk melestarikan jenis manusia
dipermukaan bumi, sedangkan yang menjadi tujuan pendukung adalah terpenuhinya
nafsu seksual secara halal sehingga dengan itu terhindar dari perbuatan dosa.
1 Perkawinan
itu pada dasarnya dilakukan untuk waktu selamanya sampai meninggalnya salah
seorang suami istri. Inilah sebenarnya yang dikehendaki agama Islam. Namun
dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang mengkehendaki putusnya perkawinan
itu dalam arti bila hubungan perkawinan itu tetap dilanjutkan maka kemudratan
akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai
langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan
dengan jalan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik.
2 Putusnya
perkawinan dalam hal ini ada beberapa bentuk. Salah satunya yaitu fasakh.
Fasakh artinya putus atau batal. Sedangkan fasakh nikah yaitu pembatalan
perkawinan oleh istri karena antara suami istri terdapat cacat atau penyakit
yang tidak dapat disembuhkan, atau si suami tidak dapat memberi belanja/
nafkah, menganiaya, murtad dan sebagainya.3 Fasakh juga disebabkan karena tidak
terpenuhinya syarat ketika berlangsungnya akad nikah, atau karena hal-hal lain
yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan.
Fasakh bisa
terjadi karena beberapa sebab di antaranya yaitu adanya cacat pada suami atau
istri. Cacat disini artinya cacat jasmani dan cacat rohani yang tidak dapat
dihilangkan atau dapat dihilangkan tetapi dalam waktu lama.Para Ulama berbeda
pendapat tentang bolehnya menuntut cerai (fasakh) disebabkan adanya cacat pada
salah satu dari suami atau istri, diantaranya Wahbah al-Zuhaili dalam bukunya
Fiqh al-Islami wa ‘Adillatuh mengkategorikan cacat yang terdapat pada suami
atau istri yang bisa dijadikan alasan masing-masing pihak untuk menuntut cerai
kepada dua hal:
1. Kelemahan
atau cacat yang bisa menjadi penghalang bagi hubungan seksual, misalnya bagi
laki-laki zakarnya terpotong (sehingga tidak bisa melakukan hubungan seksual),
atau impoten, atau dikebiri. Bagi wanita farajnya tersumbat daging (al-ratqu),
atau tersumbat tulang (al-qarnu).
2. Kelemahan
atau cacat yang tidak menjadi penghambat bagi hubungan seksual, namun dalam bentuk
penyakit yang berbahaya yang membuat lawan jenisnya tidak sabar hidup
bersamanya kecuali sanggup menahan resiko. Misalnya terkena penyakit gila, dan
berbagai penyakit menular lainnya.8 Jumhur ulama berpendapat, cacat sebagaimana
yang disebutkan di atas bisa dijadikan alasan untuk menuntut cerai dalam bentuk
fasakh. Mereka beralasan hadis Rasulullah SAW.
وعن سعید بن المسیب ان عمر بن الخطاب رضي الله
عنھ قال: ایما رجل تزوج امراة, فدخل بھا, فوجدھا برصاء , او مجنونة, او مجذومة, فلھا الصداق بمسیسھ
ایاھا, وھو لھ على من غره منھا
(اخرجھ سعید بن منصور, ومالك, وابن ابي شیبھ,
ورجالھ ثقات)
Dari Said
bin Al Musayyab bahwa Umar bin Khahthab RA Berkata: lelaki mana saja yang
menikahi seseorang perempuan lalu ia menyetubuhinya dan mendapatinya penyakit
kusta, gila, atau lepra maka bagi perempuan itu mahar karena ia menyetubuhinya
dan mahar itu atas orang yang memperdayainya. “(HR. Said bin Manshur, Malik dan
Ibnu Abu Syaibah, para perawihnya dapat dipercaya)”.
b. Tentang
mahar yang dikuasai bapaknya
Perempuan
telah melewati suatu masa dimana mereka ditempatkan pada posisi yang tidak
layak, tidak proporsional dan sangat memilukan, tidak ada perlindungan bagi
mereka, hak-hak mereka dihancurkan, kemauan mereka dirampas, jiwa mereka
dibelenggu, bahkan saat itu mereka pada posisi yang amat rendah dan hina. Dan
setelah lahirnya Rasulullah SAW sebagai rahmatan lil ‘alamiin maka hal-hal yang
berkaitan dengan hak-hak istri mulai dikembalikan. Di antara hak-hak istri
adalah maskawin atau mahar: yaitu "suatu kepemilikan yang khusus diberikan
kepada wanita sebagai ungkapan untuk menghargainya, dan sebagai simbol untuk
memuliakan serta membahagiakannya".dan sebagai simbol untuk memuliakan
serta membahagiakannya".2 Seperti yang disebutkan dalam Surat an-Nisa’
ayat 4:
Artinya:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian
dari maskawin (mahar) itu dengan sepenuh hati, maka makanlah (ambillah),
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. (an-Nisa’ :4)
Ditinjau dari asbab al-Nuzul surat an-Nisa ayat 4 di atas bahwa ada keterangan
sebagai berikut: diketengahkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abu
Shahih, jika seorang bapak mengawinkan anak perempuannya, menerima dan
menggunakan maskawin tanpa seizin anak perempuannya. Maka Allah pun melarang
mereka berbuat demikian, sehingga menurunkan ayat 4 surat an-Nisa’.3 Dengan
demikian, apabila sang isteri memberikan sebagian mahar yang sudah menjadi
miliknya tanpa paksaan, maka sang suami diperbolehkan menerimanya. Mahar
diberikan kepada istri dan menjadi hak istri dan bukan untuk orang tuanya
ataupun saudaranya. Namun apabila anak perempuan itu belum dewasa maka bapaknya
berhak memungut maharnya. Hal itu dikarenakan bapak adalah wali untuk mengurus
kekayaannya. Ayat di atas memberikan hak yang jelas kepada perempuan dan hak
keperdataan yang mengenai maharnya. Kewajiban mahar untuk dimiliki seorang
istri merupakan keharusan yang harus ditanggung oleh seorang suamimya yang
tidak boleh ditentang. Islam mewajibkan suami memberikan mahar sebagai nihlah
(pemberian yang khusus kepada istri) dan harus dengan hati yang tulus dan
lapang dada, sebagimana halnya memberikan hibah dan pemberian.5 Apabila kemudian
istri merelakan mahar itu kepada suaminya, maka istri itu mempunyai hak penuh
untuk melakukannya dengan senang hati. Karena hubungan suami istri seharusnya
didasarkan pada kerelaan yang utuh, kebebasan yang mutlak, lapang dada dan
kasih sayang yang tidak terluka dari kedua belah pihak.6 Dengan adanya
peraturan tersebut, maka Islam telah membawa angin segar bagi sosok perempuan
yang seakan-akan diabaikan dalam hal hakhaknya sebagai istri yang pada awalnya
dirampas dan kemudian telah diberikan hak-haknya kembali. Dengan adanya saling
kerelaan antara suamiistri ini diharapkan akan mewujudkan sebuah warna
kehidupan yang menyegarkan. Salah satu usaha Islam dalam memperhatikan dan
menghargai kedudukan perempuan yaitu dengan memberikan hak untuk memegang
urusannya, sedangkan pada masa jahiliyah para wanita tidak memiliki hak penuh
atas mahar yang mereka terima, sedangkan para bapak dan ibu dari anak-anak
gadis menganggap maskawin sebagai hak mereka dalam membesarkan dan merawat si
anak. Maka setelah Islam datang belenggu yang selama itu mengekang para wanita
telah terlepas. Mahar tidak lagi menjadi urusan wali (orang tua), tetapi sudah
menjadi hak penuh atas calon istri. AlQur’an telah menghapus semua adat
kebiasaan dan praktik yang merugikan wanita dalam masalah mahar.
Lampiran
0 comments:
Post a Comment