Pages

Thursday, May 23, 2019

KITAB AL-MUHALA

Nama : lina marlina
PMH B VI
Membahas kitab fiqih

A.     Biografi pengarang kitab
Ibn Hazm lahir pada hari terakhir bulan Ramadhan tahun 384 H/ 994 M di Manta Lisyam (Cordoba) ( Abd al-Latif Syararah, Ibn Hazm Raid al-Fikr al-Ilmi, t.k : Al-Maktab at-Tijari, t.t., hal. 35.)  Nama lengkap beliau adalah Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa'ad bin Hazm bin Galib bin Salih bin Sofyan bin Yazid. Ibn Hazm merupakan keturunan Persia. Kakeknya, Yazid berkebangsaan Persia, Maula Yasib bin Abi Sufyan al-Umawi. (Ibid., hal. 36.)
Ayahnya, Ahmad bin Sa'id, termasuk golongan orang cerdas yang memperoleh kemuliaan di bidang ilmu dan kebudayaan. Karena kecerdasannya itulah, ia merasa heran terhadap orang yang kacau dalam perkataannya, ia berkata "Sungguh saya heran terhadap orang yang kacau balau dalam khithabah (pidato)-nya, atau tidak tepat dalam penulisannya. Karenanya, jika orang tersebut ragu dalam sesuatu, ia harus meninggalkannya dan berpindah pada hal yang tidak meragukannya, karena sesungguhnya kalam  lebih luas daripada ini. (Al-Hamidi, Jazhwah al-Muqtabis, Dar al-Qawmiyyah, 1966, hal. 126.)
Kehidupan keluarga Ibn Hazm yang berbahagia dan berkecukupan ini tidak berlangsung lama. Sebab ketika itu ayahnya sebagai salah seorang menteri pada akhir pemerintahan umayyah yang pertama di Andalus. Bencana tak menimpanya ketika terjadinya pergantian penguasa. Sebagai seorang pemangku kekuasaan khalifah Umawiyah, Hisyam, Abu Mansur al-Amiri telah bertindak sedemikian jauh. Khalifah tidak lebih dari sebuah boneka belaka. Karena itu, tidak aneh bila di sana-sini sering terjadi pemberontakan, yang dimulai sejak tahun 398 H hingga waktu yang tidak ditentukan. Para pemberontak menyerang, merampok dan mengobrak-abrik Cordoba barat. Akibatnya, terjadi pengungsian besar-besaran. Keluarga Ibn Hazm terpaksa mengungsi kediaman lamanya di Cordoba timur tempatnya desa Bilat Magis pada tahun 399 H. Dalam kondisi yang tidak menentu inilah Ahmad ayah Ibn Hazm dipanggil ke hadirat Alloh SWT pada tahun 402 H.( Abu Zahrah, Ibn Hazm, hlm. 29-30.)


B.      Metode Penulisan Kitab
Kitab Al-Muhalla adalah sebuah kitab hukum fikih yang disusun oleh Ibnu Hazm, ulama Sunni dari abad ke-11 masehi.[1] Kitab ini termasuk di antara salahsatu sumber rujukan utama dari Mazhab Zhahiri (Literalis).[2] Kitab ini merupakan kitab standar yang digunakan dalam pendidikan hukum pada masa Kekhilafahan dinasti Muwahhidun.[3]
Pada masa kini, kitab ini tetap dijadikan acuan pelajaran misalnya seperti oleh ulama Pakistan Badi' ud-Din Syah al-Rasyidi yang mengajarkannya di Masjidil Haram, di Mekkah dan oleh Ulama Yaman Muqbil bin Hadi al-Wadi'i yang mengajarkannya di Masjid Nabawi di Madinah. Gerakan Ahl al-Hadith di India dan Pakistan juga kerap menggunakan kitab ini sebagai bahan ajar.
Izzuddin bin Abdussalam menyatakan: " Aku tidak melihat dari berbagai kitab-kitab ilmu dalam Islam yang seperti kitab Al-Muhalla milik Ibnu Hazm atau Al-Mughni milik Syaikh Muwafaquddin Ibnu Qudamah al-Maqdisi." Imam Dzahabi berkata: "Syaikh Izzuddin telah benar, dan yang ketiganya adalah Al-Sunan al-Kubra milik Al-Baihaqi, yang keempat At-Tamhid milik Ibnu Abdil Barr. Barangsiapa mempelajari kitab-kitab ini, (apalagi) jika ia adalah seorang mufti yang cerdas dan gigih dalam mempelajarinya, maka ia sungguh-sungguh orang yang berilmu."[4]
Kitab ini mengandung hadits-hadits dari "Musnad Baqiy bin Makhlad" yang sudah hilang. Bisa dikatakan, sejumlah kitab hadits yang hilang-hilang keberadaannya, beberapa masih dapat ditemukan di kitab ini.
C.      Pengaruh kitab terhadap masyarakat
Pada dasamya hukum diciptakan untuk: memelihara ketertiban dan kesejahteraan masyarakat, sementara masyarakat senantiasa mengalarni perubahan. Untuk itu, pelaksanaan hukum harus disesuaikan dengan keadaan yang ada. Artinya, asas dan prinsip hukum tidaklah berubah, tapi cara penerapannya harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat, perubahan suasana, dan perubahan keperluan hidup. Singkatnya, penerapan hukum harus mampu menegakkan kemashlahatan dan keadilan yang menjadi tujuan dari hukurn itu sendiri. Secara sosiologis, perubahan hukum memiliki pengaruh yang timbal balik terhadap perubahan masyarakat. Perubahan hukum dapat mempengaruhi perubahan dalam masyarakat, dan sebaliknya perubahan masyarakat dapat menyebabkan terjadinya perubahan hukum. Dalam wacana hukum Islam, perubahan ini digambarkan kemungkinannya oleh sebuah kaidah fiqih yang menjelaskan, bahwa perubahan hukum dapat terjadi karena perubahan tempat, waktu dan keadaan. Dengar, demikian kaidah ini telah memberikan landasan sosiologis bagi berkembangnya hukum Islam (fiqih Islam sebagai produk ijtihad) dalam mengantisipasi perubahan dan perkembangan masyarakat. Pada dasamya, perkembangan dinamika hukurn Islam karena dilatar belakangi oleh berbagai faktor, di antaranya adalah: perbedaan metode istinba. hukum yang digunakan oleh para Imam, tingkat pemahaman terhadap suatu nash, lokasi, situasi dan kondisi, waktu (masa) serta tempat tinggal para ahli hukum (mujtahid) yang berbeda-beda, kebiasaan adat istiadat masyarakat setempat yang telah lama berakar urat, dan lain-lain. Selain itu, wilayah kekuasaan wnat Islam yang semalcin luas mengharuskan huk:wn Islam bersifat dinamis dan fleksibel dalam merespon tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang memang berbeda antara wilayah yang satu dengan wilayah lainnya.
D.     Pembahasan kitab al-muhalla
a.       Hukum Menfasakh Nikah Karena Cacat
Perkawinan adalah Sunnatullah, hukum alam di dunia. Perkawinan tidak hanya dilakukan oleh manusia, tetapi juga dilakukan oleh hewan dan tumbuhan. Manusia sebagai makhluk yang telah dimuliakan oleh Allah dibandingkan makhluk- makhluk yang lain telah diberikan seperangkat aturan yaitu Al-Quran dan Hadist yang mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk hukum-hukum tentang perkawinan. Syariat Islam diturunkan kepermukaan bumi mempunyai dua peringkat tujuan yaitu tujuan utama (al-maqasit al-asliyah) dan tujuan pendukung (al-maqasid attabiyah). Dalam perkawinan yang menjadi tujuan utama adalah untuk melestarikan jenis manusia dipermukaan bumi, sedangkan yang menjadi tujuan pendukung adalah terpenuhinya nafsu seksual secara halal sehingga dengan itu terhindar dari perbuatan dosa.
1 Perkawinan itu pada dasarnya dilakukan untuk waktu selamanya sampai meninggalnya salah seorang suami istri. Inilah sebenarnya yang dikehendaki agama Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang mengkehendaki putusnya perkawinan itu dalam arti bila hubungan perkawinan itu tetap dilanjutkan maka kemudratan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan dengan jalan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik.
2 Putusnya perkawinan dalam hal ini ada beberapa bentuk. Salah satunya yaitu fasakh. Fasakh artinya putus atau batal. Sedangkan fasakh nikah yaitu pembatalan perkawinan oleh istri karena antara suami istri terdapat cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau si suami tidak dapat memberi belanja/ nafkah, menganiaya, murtad dan sebagainya.3 Fasakh juga disebabkan karena tidak terpenuhinya syarat ketika berlangsungnya akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan.
Fasakh bisa terjadi karena beberapa sebab di antaranya yaitu adanya cacat pada suami atau istri. Cacat disini artinya cacat jasmani dan cacat rohani yang tidak dapat dihilangkan atau dapat dihilangkan tetapi dalam waktu lama.Para Ulama berbeda pendapat tentang bolehnya menuntut cerai (fasakh) disebabkan adanya cacat pada salah satu dari suami atau istri, diantaranya Wahbah al-Zuhaili dalam bukunya Fiqh al-Islami wa ‘Adillatuh mengkategorikan cacat yang terdapat pada suami atau istri yang bisa dijadikan alasan masing-masing pihak untuk menuntut cerai kepada dua hal:
1. Kelemahan atau cacat yang bisa menjadi penghalang bagi hubungan seksual, misalnya bagi laki-laki zakarnya terpotong (sehingga tidak bisa melakukan hubungan seksual), atau impoten, atau dikebiri. Bagi wanita farajnya tersumbat daging (al-ratqu), atau tersumbat tulang (al-qarnu).
2. Kelemahan atau cacat yang tidak menjadi penghambat bagi hubungan seksual, namun dalam bentuk penyakit yang berbahaya yang membuat lawan jenisnya tidak sabar hidup bersamanya kecuali sanggup menahan resiko. Misalnya terkena penyakit gila, dan berbagai penyakit menular lainnya.8 Jumhur ulama berpendapat, cacat sebagaimana yang disebutkan di atas bisa dijadikan alasan untuk menuntut cerai dalam bentuk fasakh. Mereka beralasan hadis Rasulullah SAW.
وعن سعید بن المسیب ان عمر بن الخطاب رضي الله عنھ قال: ایما رجل تزوج امراة, فدخل بھا, فوجدھا برصاء , او مجنونة, او مجذومة, فلھا الصداق بمسیسھ ایاھا, وھو لھ على من غره منھا
                                        (اخرجھ سعید بن منصور, ومالك, وابن ابي شیبھ, ورجالھ ثقات)
Dari Said bin Al Musayyab bahwa Umar bin Khahthab RA Berkata: lelaki mana saja yang menikahi seseorang perempuan lalu ia menyetubuhinya dan mendapatinya penyakit kusta, gila, atau lepra maka bagi perempuan itu mahar karena ia menyetubuhinya dan mahar itu atas orang yang memperdayainya. “(HR. Said bin Manshur, Malik dan Ibnu Abu Syaibah, para perawihnya dapat dipercaya)”.
b.      Tentang mahar yang dikuasai bapaknya
Perempuan telah melewati suatu masa dimana mereka ditempatkan pada posisi yang tidak layak, tidak proporsional dan sangat memilukan, tidak ada perlindungan bagi mereka, hak-hak mereka dihancurkan, kemauan mereka dirampas, jiwa mereka dibelenggu, bahkan saat itu mereka pada posisi yang amat rendah dan hina. Dan setelah lahirnya Rasulullah SAW sebagai rahmatan lil ‘alamiin maka hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak istri mulai dikembalikan. Di antara hak-hak istri adalah maskawin atau mahar: yaitu "suatu kepemilikan yang khusus diberikan kepada wanita sebagai ungkapan untuk menghargainya, dan sebagai simbol untuk memuliakan serta membahagiakannya".dan sebagai simbol untuk memuliakan serta membahagiakannya".2 Seperti yang disebutkan dalam Surat an-Nisa’ ayat 4:
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin (mahar) itu dengan sepenuh hati, maka makanlah (ambillah), pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. (an-Nisa’ :4) Ditinjau dari asbab al-Nuzul surat an-Nisa ayat 4 di atas bahwa ada keterangan sebagai berikut: diketengahkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abu Shahih, jika seorang bapak mengawinkan anak perempuannya, menerima dan menggunakan maskawin tanpa seizin anak perempuannya. Maka Allah pun melarang mereka berbuat demikian, sehingga menurunkan ayat 4 surat an-Nisa’.3 Dengan demikian, apabila sang isteri memberikan sebagian mahar yang sudah menjadi miliknya tanpa paksaan, maka sang suami diperbolehkan menerimanya. Mahar diberikan kepada istri dan menjadi hak istri dan bukan untuk orang tuanya ataupun saudaranya. Namun apabila anak perempuan itu belum dewasa maka bapaknya berhak memungut maharnya. Hal itu dikarenakan bapak adalah wali untuk mengurus kekayaannya. Ayat di atas memberikan hak yang jelas kepada perempuan dan hak keperdataan yang mengenai maharnya. Kewajiban mahar untuk dimiliki seorang istri merupakan keharusan yang harus ditanggung oleh seorang suamimya yang tidak boleh ditentang. Islam mewajibkan suami memberikan mahar sebagai nihlah (pemberian yang khusus kepada istri) dan harus dengan hati yang tulus dan lapang dada, sebagimana halnya memberikan hibah dan pemberian.5 Apabila kemudian istri merelakan mahar itu kepada suaminya, maka istri itu mempunyai hak penuh untuk melakukannya dengan senang hati. Karena hubungan suami istri seharusnya didasarkan pada kerelaan yang utuh, kebebasan yang mutlak, lapang dada dan kasih sayang yang tidak terluka dari kedua belah pihak.6 Dengan adanya peraturan tersebut, maka Islam telah membawa angin segar bagi sosok perempuan yang seakan-akan diabaikan dalam hal hakhaknya sebagai istri yang pada awalnya dirampas dan kemudian telah diberikan hak-haknya kembali. Dengan adanya saling kerelaan antara suamiistri ini diharapkan akan mewujudkan sebuah warna kehidupan yang menyegarkan. Salah satu usaha Islam dalam memperhatikan dan menghargai kedudukan perempuan yaitu dengan memberikan hak untuk memegang urusannya, sedangkan pada masa jahiliyah para wanita tidak memiliki hak penuh atas mahar yang mereka terima, sedangkan para bapak dan ibu dari anak-anak gadis menganggap maskawin sebagai hak mereka dalam membesarkan dan merawat si anak. Maka setelah Islam datang belenggu yang selama itu mengekang para wanita telah terlepas. Mahar tidak lagi menjadi urusan wali (orang tua), tetapi sudah menjadi hak penuh atas calon istri. AlQur’an telah menghapus semua adat kebiasaan dan praktik yang merugikan wanita dalam masalah mahar.
Lampiran
Image result for AL-MUHALLA

0 comments:

Post a Comment