Pages

Friday, May 24, 2019

MAKALAH KITAB AL-MABTSUH





AL-MABTSUH
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Membahas Kitab Fiqh yang diampu oleh Dr. Dadang syarifudin, M.Ag


https://image.psikolif.com/wp-content/uploads/2018/11/Logo-UIN-Bandung-Original-PNG-Terbaru.png





Disusun Oleh : 
Rismala Wulandari        1163040078
PMH / VI / B




JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2019





KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan ke khadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam kita limpahkan kepada junjunan kita Nabi Muhammad SAW kepada keluarganya, sahabatnya, para tabiin, tabiittabiin, hingga sampai kepada kita semua. Alhamdulillah pada kesempatan ini penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidak lain untuk memenuhi salah satu kewajiban mata kuliah Membahas Kitab Fiqh serta merupakan bentuk langsung tanggung jawab penulis pada tugas yang diberikan.
Pada kesempatan kali ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Dadang Syarifudin, M.Ag. selaku dosen mata kuliah Membahas Kitab Fiqh serta semua pihak yang membantu dalam penyelesaian makalah ini baik langsung maupun tidak langsung. Atas bantuan semua pihak tersebut, makalah ini dapat diselesaikan. Semoga atas ilmu dan bantuan yang diberikan dalam penyusunan makalah ini diberikan pahala oleh Allah SWT.
Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana penulis juga sadar bahwasannya penulis hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sedang kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT sehingga dalam penulisan dan penyusunannya masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa penulis nanti dalam upaya evaluasi diri. Semoga  dibalik ketidaksempurnaan penulisan dan penyusunan makalah ini dapat memberikan manfaat bahkan hikmah bagi penulis, pembaca, dan bagi seluruh mahasiswa-mahasiswi.


Bandung,  Mei 2019

                                                                                                                       
                                                                                                                                    Penyusun

DAFTAR ISI








A.    BIOGRAFI


            Penulisan fikih madzhab Hanafi dibagi menjadi tiga tingkatan. Tingkatan pertama adalah penulisan yang disandarkan pada imam utama, seperti Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan al-Hasan. Imam al-Hasan telah menulis enam kitab dan salah satunya adalah kitab al-Mabsuth. Tingkatan kedua adalah kitab yang ditulis secara individual oleh generasi setelahnya dan merujuk pada imam-imam sebelumnya, seperti kitab al-Badai’ ash-Shanai’ yang ditulis oleh Imam al-Kasani. Sedangkan tingkatan ketiga adalah kitab yang berisikan persoalan-persoalan hukum yang ditulis oleh imam-imam mujtahid, seperti kitab an-Nawazil yang ditulis oleh Imam al-Faqih Abu Laits as-Samarqandi.

            Adapun kitab al-Mabsuth yang akan dibicarakan di sini, bukan kitab yang ditulis oleh Imam al-Hasan, tetapi kitab yang ditulis oleh Imam Syamsuddin as-Sarkhasi.Penjelasannya, sebagaimana disebutkan di atas bahwa Imam al-Hasan telah menulis enam kitab dan keenam kitab tersebut telah diringkas oleh Abu Fadhl al-Marwazi yang diberi judul Mukhtashar al-Kafi. Di dalamnya berisi ringkasan-ringkasan fikih Hanafi dari keenam kitab yang ditulis oleh Imam al-Hasan. Kemudian Imam Syamsuddin as-Sarkhasi men-syarah kitab Mukhtashar al-Kafi tersebut dan diberi judul sama dengan kitab pertama yang ditulis oleh Imam al-Hasan, yaitu al-Mabsuth.

            Dalam referensi pemikiran hukum Islam, Imam Syamsuddin as-Sarkhasi lebih dikenal sebagai tokoh yang terlibat secara langsung dalam perdebatan keilmuan, baik ketika berhadapan dengan tokoh yang bersebrangan dengan madzhab Hanafi maupun dalam melahirkan teori. Ia memiliki kecerdasan dan kedalaman ilmu yang membedakannya dengan tokoh lain baik dari kalangan madzhabnya maupun di luar madzhab. Nama beliau adalah Muhammad bin Ahmad bin Abu Sahl Abu Bakar as-Sarkhasi, beliau wafat pada tahun 490 H/ 1096 M.





B.     ISI DAN SISTEMATIKA KITAB AL-MABTSUH


            Kitab ini mengupas berbagai hal secara mendalam dan tuntas dengan cara khas pemikiran Hanafiyah. Dari aspek sistematika, kitab al-Mabsuth tidak dimulai dengan kajian soal thaharah sebagaimana dalam tradisi penulisan kitab-kitab fikih lainnya. Kajian pertama dalam kitab ini langsung dimulai dengan kajian shalat, karena dalam pandangannya shalat merupakan dasar yang paling fundamental bagi keislaman seseorang setelah beriman kepada Allah Ta’ala. Kemudian ditutup dengan pembahasan nikah dan seputarnya.

            Sistematika penyampaiannya adalah dengan menyebutkan sebuah permasalahan fikih, kemudian menjelaskan hukumnya dalam madzhab Hanafi, menyebutkan dalil yang mendasarinya, dan menyebutkan pendapat-pendapat yang menyelisihi. Setelah semua itu, baru mulai menjelaskan dalilnya dan mendiskusikan dalil tersebut. Terkadang beliau menggabungkan dalil madzhab Hanafi dengan madzhab lain yang tidak sependapat, tentunya dengan penggabungan yang sangat baik serta menjauhkan dari pendapat yang berlawanan. Selain itu beliau juga membandingkan pendapat madzhabnya dengan madzhab lain, terkhusus madzhab Syafi’i dan pendapat Imam Malik, terkadang juga menyebutkan madzhab Hanbali dan madzhab Zhahiri.



C.    KARAKTERISTIK


          Adapun ciri khas fiqih Imam Abu Hanifah adalah berpijak kepadakemerdekaan berkehendak, karena bencana paling besar yang menimpa manusia adalah pembatasan atau perampasan kemerdekaan, dalam pandangan syari’at wajib dipelihara. Pada satu sisi sebagian manusia sangat ekstrim menilainya sehingga beranggapan Abu Hanifah mendapatkan seluruh hikmah dari Rasulullah SAW. Melalui mimpi atau pertemuan fisik. Namun di sisi lain ada yang berlebihan dalam membencinya, sehingga mereka beranggapan bahwa beliau telah keluar dari agama

            Perbedaan     pendapat     yang     ektrim     dan     bertolak     belakang     itu adalahmerupakan  gejala  logis  pada  waktu dimana  Imam  Abu  Hanifah  hidup.

Orang-orang  pada  waktu  itu  menilai  beliau  berdasarkan  perjuangan,  prilaku, pemikiran,  keberanian  beliau yang  kontroversial,  yakni  beliau  mengajarkanuntuk

menggunakan akal secara maksimal,dan dalam hal itu beliau tidak peduli dengan pandangan orang lain.



D.    KEDUDUKAN


            Kitab ini merupakan kitab induk dalam Madzhab Hanafi dalam bidang hukum. Kehadirannya sangat fenomenal karena ditulis pada saat berada di penjara, dengan cara didiktekan oleh as-Sarkhasi kepada murid-muridnya. Perbedaannya dengan gaya penulisan buku-buku ilmiah kontemporer, dalam al-Mabsuth tidak dicantumkan rujukan dan catatan kepustakaan. Hal itu dapat dimaklumi karena faktor kelaziman dan kultur dalam penulisan seperti yang dimaksudkan itu belumlah menjadi sebuah tuntutan seperti adanya sekarang. Ditambah lagi dengan kondisi dipenjara yang secara fisik dan psikologis tentu berada dalam keterbatasan dan tekanan sehingga tidak memungkinkan menghadirkan banyak referensi.



E.     CONTOH PEMBAHASAN


[بَابُ صَلَاةِ الْمَرِيضِ]

الْأَصْلُ فِي صَلَاةِ الْمَرِيضِ قَوْله تَعَالَى: {الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ} [آل عمران: 191] قَالَ الضَّحَّاكُ فِي تَفْسِيرِهِ: هُوَ بَيَانُ حَالِ الْمَرِيضِ فِي أَدَاءِ الصَّلَاةِ عَلَى حَسَبِ الطَّاقَةِ «وَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - عَلَى عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ يَعُودُهُ فِي مَرَضِهِ فَقَالَ: كَيْفَ أُصَلِّي فَقَالَ - عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ -: صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى الْجَنْبِ تُومِئُ إيمَاءً، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَاَللَّهُ أَوْلَى بِالْعُذْرِ» أَيْ بِقَبُولِ الْعُذْرِ مِنْكَ، وَلِأَنَّ الطَّاعَةَ عَلَى حَسَبِ الطَّاقَةِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إلَّا وُسْعَهَا} [البقرة: 286] وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى {فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ} [التغابن: 16]. فَإِذَا عَرَفْنَا هَذَا فَنَقُولُ: الْمَرِيضُ إذَا كَانَ قَادِرًا عَلَى الْقِيَامِ يُصَلِّي قَائِمًا، فَإِذَا عَجَزَ عَنْ الْقِيَامِ يُصَلِّي قَاعِدًا بِرُكُوعٍ وَسُجُودٍ، وَإِذَا كَانَ عَاجِزًا عَنْ الْقُعُودِ يُصَلِّي بِالْإِيمَاءِ؛ لِأَنَّهُ وُسْعُ مِثْلِهِ، فَإِنْ كَانَ قَادِرًا عَلَى الْقِيَامِ فِي أَوَّلِ الصَّلَاةِ وَعَجَزَ عَنْ الْقِيَامِ فَإِنَّهُ يَقْعُدُ، وَفَرْقٌ بَيْنَ هَذَا وَبَيْنَ الصَّوْمِ، فَإِنَّ الْمَرِيضَ إذَا كَانَ قَادِرًا عَلَى الصَّوْمِ فِي بَعْضِ الْيَوْمِ ثُمَّ عَجَزَ، فَإِنَّهُ لَا يَصُومُ أَصْلًا وَهُنَا يُصَلِّي.

وَجْهُ الْفَرْقِ بَيْنَهُمَا، وَذَلِكَ لِأَنَّ فِي الصَّوْمِ لَمَّا أَفْطَرَ فِي آخِرِ الْيَوْمِ لَمْ يَكُنْ فِعْلُهُ فِي أَوَّلِ الْيَوْمِ مُعْتَدًّا فَلَا يَشْتَغِلُ بِهِ، وَفِي الصَّلَاةِ وَإِنْ



[Pintu doa pasien]

Nabi (damai dan berkah dari Allah besertanya) memasukkan 'Imran ibn' Al-Dhahak dalam interpretasinya: Ini adalah pernyataan kondisi pasien dalam melakukan sholat sesuai dengan energi. Dia berkata, "Bagaimana saya bisa berdoa?" Dia berkata: "Berdoalah, saw," jika Anda tidak bisa berdiri, Donc, bisa bukan Tuhan pertama alasan »setiap penerimaan alasan Anda, dan karena ketaatan oleh kuasa Allah swt berfirman: Allah tidak membebani jiwa apapun di luar ruang lingkup} [Al-Baqarah: 286] dan interpretasi ayat makna} [Taghabun: 16]. Jika dia tidak dapat melakukan sholat, dia harus duduk sujud dan sujud, dan jika dia tidak bisa duduk, dia berdoa dengan mengangguk, karena dia telah berkembang seperti dia.Jika dia mampu melakukan dalam doa pertama, dan dia tidak dapat melakukan itu, dia akan duduk dan putus. Antara ini dan puasa, jika pasien mampu berpuasa dalam beberapa hari dan kemudian ketidakmampuan, itu tidak puasa sama sekali Berikut berdoa.

Perbedaan di antara mereka, karena dalam puasa untuk puasa pada akhir hari tidak dilakukan pada awal hari orang berdosa tidak bekerja, dan dalam doa.



[بَابُ افْتِتَاحِ الصَّلَاةِ]

قَالَ: (وَإِذَا انْتَهَى الرَّجُلُ إلَى الْإِمَامِ، وَقَدْ سَبَقَهُ بِرَكْعَتَيْنِ، وَهُوَ قَاعِدٌ - يُكَبِّرُ تَكْبِيرَةَ الِافْتِتَاحِ لِيَدْخُلَ بِهَا فِي صَلَاتِهِ، ثُمَّ كَبَّرَ أُخْرَى وَيَقْعُدُ بِهَا)؛ لِأَنَّهُ الْتَزَمَ مُتَابَعَةَ الْإِمَامِ، وَهُوَ قَاعِدٌ وَالِانْتِقَالُ مِنْ الْقِيَامِ إلَى الْقُعُودِ يَكُونُ بِالتَّكْبِيرَةِ، وَالْحَاصِلُ أَنَّهُ يَبْدَأُ بِمَا أَدْرَكَ مَعَ الْإِمَامِ لِقَوْلِهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «إذَا أَتَيْتُمْ الصَّلَاةَ فَأْتُوهَا وَأَنْتُمْ تَمْشُونَ وَلَا تَأْتُوهَا وَأَنْتُمْ تَسْعُونَ، عَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالْوَقَارِ مَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَاقْضُوا»، وَكَانَ الْحُكْمُ فِي الِابْتِدَاءِ أَنَّ الْمَسْبُوقَ يَبْدَأُ بِقَضَاءِ مَا فَاتَهُ حَتَّى أَنَّ مُعَاذًا - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - جَاءَ يَوْمًا، وَقَدْ سَبَقَهُ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِبَعْضِ الصَّلَاةِ فَتَابَعَهُ فِيمَا بَقِيَ، ثُمَّ قَضَى مَا فَاتَهُ فَقَالَ - عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ -: «مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا صَنَعْتَ يَا مُعَاذُ؟ فَقَالَ: وَجَدْتُكَ عَلَى حَالٍ فَكَرِهْتُ أَنْ أُخَالِفَكَ عَلَيْهِ فَقَالَ - عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ - سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ سُنَّةً حَسَنَةً فَاسْتَنُّوا بِهَا»، ثُمَّ لَا خِلَافَ أَنَّ الْمَسْبُوقَ يُتَابِعُ الْإِمَامَ فِي التَّشَهُّدِ وَلَا يَقُومُ لِلْقَضَاءِ حَتَّى يُسَلِّمَ الْإِمَامُ وَتَكَلَّمُوا أَنَّ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْ التَّشَهُّدِ مَاذَا يَصْنَعُ؟ فَكَانَ ابْنُ شُجَاعٍ - رَحِمَهُ اللَّهُ - يَقُولُ يُكَرِّرُ التَّشَهُّدَ وَأَبُو بَكْرٍ الرَّازِيّ يَقُولُ يَسْكُتُ؛ لِأَنَّ الدُّعَاءَ مُؤَخَّرٌ إلَى آخِرِ الصَّلَاةِ وَالْأَصَحُّ أَنَّهُ يَأْتِي بِالدُّعَاءِ مُتَابَعَةً لِلْإِمَامِ؛ لِأَنَّ الْمُصَلِّيَ إنَّمَا لَا يَشْتَغِلُ بِالدُّعَاءِ فِي خِلَالِ الصَّلَاةِ لِمَا فِيهِ مِنْ تَأْخِيرِ الْأَرْكَانِ وَهَذَا الْمَعْنَى لَا يُوجَدُ هُنَا؛ لِأَنَّهُ لَا يُمْكِنُهُ أَنْ يَقُومَ قَبْلَ سَلَامِ الْإِمَامِ.



وَيَجُوزُ افْتِتَاحُ الصَّلَاةِ بِالتَّسْبِيحِ وَالتَّهْلِيلِ وَالتَّحْمِيدِ فِي قَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ وَمُحَمَّدٍ رَحِمَهُمَا اللَّهُ، وَفِي قَوْلِ أَبِي يُوسُفَ - رَحِمَهُ اللَّهُ - إذَا كَانَ يُحْسِنُ التَّكْبِيرَ وَيَعْلَمُ أَنَّ الصَّلَاةَ تُفْتَتَحُ بِالتَّكْبِيرِ لَا يَصِيرُ شَارِعًا بِغَيْرِهِ، وَإِنْ كَانَ لَا يُحْسِنُهُ أَجْزَأَهُ، وَأَلْفَاظُ التَّكْبِيرِ عِنْدَهُ أَرْبَعَةٌ: اللَّه أَكْبَرُ، اللَّهُ الْأَكْبَرُ



[Doa pembuka]

Dia berkata: "Jika orang itu berakhir di depan imam, dan dia mendahului itu dengan dua rakaat, dan dia berdiri, maka pembuka pintu terbuka untuk memasukkannya dalam salatnya, maka dia tumbuh lagi dan duduk dengan itu. Saya menyadari dengan imam bahwa dia (damai dan berkah Allah besertanya) mengatakan: "Jika Anda datang untuk berdoa, datang padanya saat Anda berjalan dan tidak berjalan "Itu adalah keputusan pada awalnya bahwa preseden mulai menghabiskan apa yang telah berlalu sampai Maa'a - semoga Allah senang dengan dia - datang sehari, dan didahului oleh Nabi - saw, beberapa doa Ftaabh saat tersisa, dan Nabi, damai dan berkah besertanya, Kemudian dia menghabiskan apa yang dia lewatkan, dan dia berkata - damai dan berkah besertanya - Apa beban Anda atas apa yang telah Anda lakukan, apa yang dilarang? Dia berkata: Saya menemukan Anda pada kasus yang saya pikir lawan Anda padanya mengatakan - saw - usia Moaz tahun yang baik Vastnoa mereka », maka tidak ada perselisihan bahwa imam mengikuti imam di tashahhud dan tidak mengarah ke pengadilan sampai imam dan mengatakan bahwa setelah menyelesaikan tashahhud Apa yang harus dilakukan? Putra Shuja (semoga Allah mengampuni dia) mengatakan: Dia mengulangi tashahhud dan Abu Bakar al-Razi mengatakan bahwa dia diam karena du'aa 'adalah penundaan shalat terakhir, dan lebih tepat dia datang dengan du'aa' untuk mengikuti imam, karena jamaah tidak terlibat dalam doa du'aa 'selama shalat. Dia tidak bisa melakukannya sebelum kedamaian Imam.

            Diijinkan untuk membuka doa dengan memuji dan memuji Nabi, semoga Tuhan mengampuni dia, dalam kata-kata Abu Hanifah dan Muhammad, semoga Tuhan mengampuni dia. Dalam kata-kata Abu Yusuf (semoga Allah mengampuni dia), jika dia meningkatkan zakr dan tahu bahwa shalat dimulai dengan zakr, Tuhan Yang Maha Besar.

 

KESIMPULAN

            Hasil karya  dan karangan Imam Abu Hanifah, meskipun ia diakui sebagai ahli dalam agama islam, namun sampai sekarang tidak banyak yang dapat kita nikmati. Hal ini dapat dimaklumi sebab dilihat segi dari masa hidupnya yang sebenarnya sudah banyak bahan, namun belum dituangkan dalam bentuk karya yang sistematis, sampai akhir hidupnya dalam penjara yang relatif lama sehingga apa yang kita baca pada pendapat-pendapat beliau pun sebenarnya banyak merupakan kodifikasi dari murid-muridnya.

            Dalam referensi pemikiran hukum Islam, Imam Syamsuddin as-Sarkhasi lebih dikenal sebagai tokoh yang terlibat secara langsung dalam perdebatan keilmuan, baik ketika berhadapan dengan tokoh yang bersebrangan dengan madzhab Hanafi maupun dalam melahirkan teori. Ia memiliki kecerdasan dan kedalaman ilmu yang membedakannya dengan tokoh lain baik dari kalangan madzhabnya maupun di luar madzhab.



SAMPUL DEPAN KITAB AL-MABTSUH
 
 


0 comments:

Post a Comment